Top Social

Menjadi Ibu adalah Hikmah

Kamis, 26 Agustus 2021

                      

            Menjadi ibu,anugerah terindah dari Nya. Menjadi ibu tak serta merta harus menjadi ibu sempurna. Menjadi ibu adalah proses, proses yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan. Menjadi ibu sungguh tak mudah, tapi akan kau temui cahaya hikmah di dalamnya.

 

Ayya saat masih berusia 2 minggu.

            Alhamdulillah sudah hampir 3 tahun saya menjadi seorang ibu. Ibu dari 1 anak perempuan yang saya beri nama Karima Diyah Tsurayya atau akrab saya panggil Ayya. Tentu banyak sekali cerita dan hikmah yang menghiasi keseharian saya.

            Ada cerita gembira dan ada  juga cerita suka duka di dalamnya. Terlepas dari itu semua, saya merasa bahagia, saya merasa bersyukur bisa menjadi seorang ibu.

           

Hijrah dan Resign dari Pekerjaan.

            Sebelum menikah saya adalah Dosen Luar Biasa (DLB) atau Dosen Honorer di 3 Universitas di Provinsi Bengkulu. Saya mengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Terbuka dan juga IAIN Bengkulu. Walau saya hanyalah Dosen Luar Biasa, tapi alhamdulillah, saya sudah mengajar lebih dari seratus mahasiswa, dengan rentang usia yang juga beragam. Saya pernah mengajar Bapak Polisi yang berumur sekitar 50 tahunan, para pegawai BKKBN yang hampir seusia ayah saya dan juga Polisi berpangkat muda yang baru saja lulus Akpol, alhamdulillah saya diberi kesempatan mengajar mereka di program studi Ilmu komunikasi.

            Saya juga pernah mengajar di Lebong (menempuh 4 jam perjalanan dari Kota Bengkulu) dan juga Bengkulu Tengah. Alhamdulillah semua itu saya lalui 1,5 tahun pascalulus dari UGM. Memang saya sangat menyukai dunia pendidikan, terkhusus kegiatan belajar mengajar. Bagi saya mengajar adalah proses healing bagi saya pribadi. Ketika menyampaikan materi ataupun berdiskusi, saya terkadang tertawa kecil di dalam hati, ketika melihat tingkat polah anak didik saya. Ada yang sok tahu,ada yang selalu ingin bicara, ada yang memang betul-betul pintar, ada juga yang pintar tetapi memilih untuk diam saja. Semua itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya.

            Menginjak tahun kedua saya mengajar, saya dilamar dengan seseorang  (seorang dosen juga dari Tanah Sulawesi, hanya saja berdomisili di Jakarta). Sejak memutuskan menikah, maka saya hijrah ke DKI Jakarta dan benar-benar berhenti dari kegiatan saya yakni dosen.

            Tentu saja, ini adalah keputusan yang berat, karena saat itu kondisi saya akan diajukan menjadi dosen kontrak dan mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Tentunya hal ini adalah hal yang amat saya nanti sejak dulu sebagai pengajar. Hal ini juga bukan janji kosong, karena kebetulan dosen kontrak sebelumnya yang mengisi jabatan sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Bengkulu lulus CPNS, sehingga 1 kursi dosen kontrak (yang nantinya akan berproses menjadi dosen tetap yayasan) kosong. Ini merupakan kartu joker bagi saya, seorang dosen komunikasi yang memang ingin berkarir serius menjadi dosen. Tapi apa mau dikata, saya malah memilih Jakarta dan meninggalkan impian saya menjadi dosen tetap di Bengkulu. Toh menurut saya, karir saya nanti juga bisa dilanjutkan di DKI.

 

Kehidupan Awal di Jakarta

    

Salah Satu Sudut Jakarta (Mall Central Park, Jakarta Barat)

            Akhir Januari 2018, chapter baru hidup saya dimulai di Jakarta, di salah satu rumah kontrakan di Jalan KH.Djunaedi Jakarta Barat. Saya benar-benar bukan lagi menjadi seorang dosen, keseharian saya berubah. Bangun pagi saya harus memasak, menyapu rumah, mencuci baju dan juga membereskan rumah. Tiba sore hari saya kembali menyiapkan makan malam dan juga membereskan rumah, begitu saja setiap hari.

            Belum lagi circle pertemanan saya yang tiba-tiba mengecil. Tadinya di Kota Bengkulu saya memiliki banyak teman. Sementara di Jakarta, teman saya hanyalah suami dan tetangga kontrakan. Terkadang saya benar-benar merasa bosan, kadang saya menangis sendirian di dalam kontrakan sambil mengeluh dalam hati, “Coba dulu saya tetap mengajar saja.” Keseharian saya yang begitu-begitu saja, membuat saya merasa sensitif, saya sering sekali marah-marah tanpa sebab pada suami. Ya, suami saya bekerja dari jam 9 atau jam 10 pagi hingga malam pukul 9.30 wib malam baru pulang. Suami seringkali pulang ke rumah sekitar setengah jam untuk makan siang saja, kemudian pergi lagi ke kantor. Rasa-rasanya saya hampir depresi, tapi kesemua itu saya lalui, pokoknya saya harus kuat, saya pasti bisa. Saya pun mengalihkan kesendirian saya dengan memasak beragam menu, semuanya otodidak, dengan melihat resep di internet atau youtube.

            Bulan kedua kami menikah. Saya merasa aneh, mengapa saya haid hanya 1 hari kemudian berhenti? Saya merasa juga di bagian pinggul saya amat terasa sakit. Saya berusaha mencari info dari teman-teman terdekat saya yang sudah menikah. Mereka menyarankan saya agar membeli testpack. Anjuran itu saya ikuti, dua testpack saya gunakan saat baru bangun tidur di pagi hari,dan ternyata memang dua garis, hanya saja garis satunya masih buram. Karena masih penasaran, akhirnya saya berinisiatif pergi ke dokter kandungan di RSAB Harapan Kita, Jakarta Barat. Setelah diperiksa, saya dinyatakan positif hamil oleh dokter kandungan. Alhamdulillah, antara perasaan senang dan takut, karena jujur saja saya merasa belum siap jadi ibu di waktu itu.

 

Kondisi Hamil

            Saat hamil, saya tidak mengalami banyak kendala, hanya saja calon bayi saya selalu mengalami kekurangan berat badan. Saya pun dianjurkan oleh dokter untuk banyak mengonsumsi es krim, alpukat dan juga meminum Kental Manis 1 gelas tinggi. Belum lagi HB saya sering rendah, sehingga saya harus meminum jus buah bit dan juga mengkonsumsi banyak daging merah (daging sapi). Kondisi ini membuat BB saya naik 16 Kg di akhir masa kehamilan, namun masih saja BB bayi di bawah normal.

            Tentu saja saya sedih, kenapa susah sekali naik BB badan calon anak saya ini? Kenapa harus saya yang banyak makan, sementara BB bayi tidak juga naik? (Ya tetap, saya masih saja belum banyak bersyukur dan mengeluh saat itu). Jujur saya belum sebijak sekarang saat itu. Entahlah, mungkin karena saya masih merasa sedih dengan kondisi saya saat itu, “kok saya malah jadi ibu rumah tangga?, ngapain sekolah tinggi?,”.

            Oh ya, walau saya berhenti menjadi dosen tatap muka, tapi rezeki datang pada saya, dengan masih dipercayanya saya menjadi dosen (tutor online Universitas Terbuka). Tapi saya masih saja ogah-ogahan bekerja, karena menurut saya saat itu, lebih keren menjadi dosen tatap muka daripada hanya menjadi tutor online. Sungguh tak pandai bersyukur saya saat itu.

    Menginjak usia kehamilan 8 bulan, aku pun kembali ke Bengkulu untuk persiapan melahirkan. Karena memang tak ada keluarga dekat di Jakarta, maka aku memutuskan untuk melahirkan saja di Bengkulu, karena ada Bapak dan Mama di rumah.

 

Kehadiran Ayya

            Bengkulu, 7 Oktober 2018, Ayya lahir dengan BBLR (Berat Bayi Lebih Rendah) dengan cara operasi caesar (SC). Ayya lahir dua minggu lebih cepat dari HPL yang ditetapkan Dokter. Saat menginjak usia kehamilan 9 bulan, sudah dua dokter kandungan yang menyarankan untuk segera operasi caesar, karena berat badan bayi di bawah normal, nutrisi dari ibu sudah tak tersalurkan lagi saat itu. Jika terus menunggu hingga HPL dan ingin lahiran normal, maka akan berbahaya bagi kondisi bayi.



            Saya masih tak percaya, saya pergi ke dokter ketiga, saat itu ke Rumah Sakit UmmiKOta Bengkulu, saya pergi ke dokter Deddy, SPOg atas dasar rekomendasi kakak saya. Di dokter tersebut saya memang langsung disarankan untuk operasi keesokan harinya, karena plasenta sudah kering, sementara berat badan bayi di bawah normal. Dokter mengatakan jika masih ingin menunggu lahiran normal, maka akan berbahaya bagi janin. Tentu saja saya ketakutan dan khawatir. Saya pun menelepon suami saya yang ada di Jakarta, saya bilang saya takut, saya khawatir kalau nanti janin saya kenapa-kenapa. Akhirnya kami memutuskan agar saya dioperasi lusa, tepat di hari Minggu, tanggal 7 Oktober 2018 di RSU Ummi Kota Bengkulu.

            Malam sebelum dioperasi keesokan harinya saya tak bisa tidur. Saya membayangkan apakah saya masih ada keesokan harinya atau kah nanti akan meninggal?. Apakah operasinya lancar atau tidak?. Tiba keesokan harinya, saya pun menjalani operasi, alhamdulillh lancar, kurang dari 1 jam saya sudah keluar dari ruang operasi dan suda resmi menjadi seorang ibu dari seorang bayi perempuan.

            Alhamdulillah saya bersyukur, amat bersyukur atas kelahiran Ayya. Namun ternyata, cobaan belum selesai. Keesokan harinya Ayya harus masuk ke dalam incubator, karena BB nya yang kurang dari batas sewajarnya. Akhirnya saya pulang ke rumah, tanpa membawa bayi. Ayya tetap di RS sementara saya istirahat di rumah.

 

Bersama Ayya Kembali Ke Jakarta

            Usia 2,5 bulan, saya memutuskan membawa Ayya kembali ke Jakarta. Saya yakin bisa menjaga Ayya tanpa bantuan mama saya. Memang bukan hal yang mudah, tapi saya harus memberanikan diri untuk mandiri mengurus anak. Saya hanya berdoa, semoga saya dikuatkan dan bisa menjadi Ibu yang baik untuk Ayya.

            Tentu saja tak mudah mengasuh anak sendiri di rumah, sementara suami sibuk bekerja. Saya harus jadi ibu pantang menyerah dan mengurangi mengeluh. Saya harus mampu menahan keluh kesah, walau sebenarnya capek luar biasa. Belum lagi harus begadang malam, ketika Ayya maunya digendong terus, tidak mau ditidurkan di tempat tidur.

Ayya di taman Bermain (Palmerah, Jakarta Barat)

            Kalau misalnya saya mengeluh pada mama saya melalui telepon, justru malah dibilang, “Ya begitu jadi ibu, makanya kalau sama orang tua itu nurut, sekarang baru kerasa kan gimana jadi orang tua?,” ujar mama saya.

            Ya begitulah saya harus kuat, kuat menyiapkan hidangan makanan bagi suami, kuat menjadi ibu, kuat belanja bahan makanan di pasar dan juga kuat membereskan rumah. Beruntung saya mempunyai suami yang mau membantu pekerjaan sehari-hari, misalnya menjemur pakaian,bergantian mencuci piring atau menyapu rumah. Alhamdulillah.

 

Hikmah Menjadi Ibu

            Saat ini, saya sudah menginjak usia 30 tahun. Tentu saja pemikiran saya sudah mulai dewasa. Saya sudah jarang mengeluh. Saya juga sudah bisa menerima status saya sebagai ‘Ibu Rumah Tangga’. Memang, keinginan saya untuk menjadi dosen tatap muka kembali seperti masih ada, tetapi qadarullah, setiap lamaran yang saya kirimkan belum juga bersambut. Saya berpikir positif saja, bisa jadi kondisi sebagai ibu rumah tangga saat ini adalah yang terbaik bagi saya.

    

Ayya dan Umi di Pantai Mutiara Buton Tengah (Sulawesi Tenggara)

            Ada Ayya yang membutuhkan perhatian saya, ada keluarga kecil saya yang membutuhkan saya full time di rumah. Toh, saya masih diberi kesempatan mengajar walau sebagai tutor online Universitas Terbuka. Saya bersyukur juga, karena saya bisa meluangkan banyak waktu untuk berkreasi membuat ragam masakan. Alhamdulillah saya juga merasa bahagia, karena Ayya tumbuh sehat dan ceria. Saya juga merasa bahagia karena saya bisa dan ternyata mampu mengurus rumah tangga walau masih harus banyak belajar.

            Saya berusaha mencontoh hal-hal baik yang diberikan oleh mama saya. Mama saya berpesan agar seringlah memasak di rumah untuk keluarga. Selain bisa menghemat biaya, tentu saja akan lebih sehat dan higienis. Kemudian ketika memasak, sebisanya harus cantik, mandi terlebih dahulu dan juga cantik, tak masalah menggunakan make up tipis dan tampil wangi untuk di rumah. Menyenangkan anak dan suami adalah prioritas. Jangan cepat tersinggung, berusahalah dewasa, berusaha menerima keadaan. Jangan lupa olahraga, karena ibu itu kalau bisa jangan sering sakit. Jaga kondisi pikiran agar tetap bahagia, karena bukannya apa, terkadang penyakit itu sumbernya dari pikiran. Saya berusaha mengikuti nasihat-nasihat dari mama saya,tentunya ini juga demi kebaikan saya.

            Menjadi Ibu adalah anugerah terindah dari Nya. Saya bersyukur, walau ‘masih’ di rumah saja, saya bisa menggali potensi saya yang lain, yakni memasak. Selain itu, sudah 2 tahun ini saya menjalankan bisnis online saya yang saya beri nama @yueayuustore (instagram), walau masih kecil-kecilan, tapi saya banyak belajar. Dimulai dari menjadi menjadi reseller, akhirnya saat ini saya sudah bisa menyetok barang. Prinsip saya, walau saya ‘di rumah saja’, tapi saya harus mengoptimalkan potensi saya, saya harus punya karya. Bismillah.

Berobat Mata Ke RS JEC Kedoya JakBar

Kamis, 19 Agustus 2021

Berobat Mata Ke RS JEC Kedoya pada Masa PPKM Level 4

Photo by Me

            Jum’at lalu (tanggal 6 Agustus 2021) saya memutuskan untuk mengunjungi Jakarta Eye Center yang ada di Kedoya, Jakarta Barat. Hal ini dikarenakan mata saya serasa perih sejak jalan pagi pada hari Kamis sebelumnya di komplek DPR Palmerah. Saat sedang menggendong Ayya (anak saya, usia 2 tahun 10 bulan) untuk main perosotan, mata saya serasa disemprot oleh ‘gas asing’, amat perih dan pandangan saya tiba-tiba seperti berwarna oranye (padahal itu pagi hari). Saya mengira bahwa mata saya terkena asap bakaran sampah di samping taman, tetapi rasanya tak mungkin, karena sumber asap cukup jauh. Tak mungkin kalau sampai ke mata saya, lagian memang asapnya tidak sampai ke dalam taman.

            Saya masih berprasangka baik, saya gendong kembali Ayya, lalu saya naikkan lagi ke atas perosotan. Ah.. ternyata perih kembali, seperti ada yang benar-benar menyemprotkan ‘gas asing’,  saya kedip-kedipkan mata. Makin terasa perih. Saya masih pura-pura tak terjadi apa-apa. Saya masih mengajak Ayya bermain sembari sesekali memotretnya. Bermain di taman DPR ini sangat menyenangkan jika dilakukan pada waktu weekday, karena taman DPR akan sepi pengunjung dibandingkan weekend, mengingat saat ini masih masa PPKM Level 4 dikarenakan lonjakan kasus covid 19 di Indonesia.

            Lokasi taman DPR tak jauh dari rumah saya. Taman ini terletak di dalam komplek perumahan DPR RI Palmerah, Jakarta Barat. Tamannya tak terlalu luas, tapi cukup untuk digunakan sebagai sarana olahraga bagi masyarakat sekitar. Di dalam lokasi taman terdapat beberapa tanaman hias yang tertata rapi dan juga beberapa arena bermain anak, salah satu contohnya yakni perosotan. Taman tersebut juga dilengkapi dengan beberapa bangku taman yang dapat digunakan untuk bersantai di pagi hari menghirup udara segar di sekitar taman. Taman ini juga dilengkapi dengan beberapa pepohonan rimbun, sehingga udara sekitar taman amat sejuk. Dan yang lebih menyenangkan lagi, taman ini terbuka untuk umum.

            Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB, Abi Ayya mengajak untuk pulang, karena dirasa sudah cukup bermain di sekitaran taman dan kami juga sudah berjalan santai sekitaran kompleks sebelum tiba di taman DPR. Walau tak terlalu berkeringat, tetapi rasanya sudah cukup untuk olahraga ringan pagi ini. Sepanjang perjalanan pulang, saya merasa bahwa mata saya agak sakit, apalagi yang sebelah kanan. Hanya saja pandangan mata saya sudah terang kembali, tidak lagi oranye seperti sebelumnya di taman. Tiba di rumah, sakit mata yang saya rasakan semakin berat. Saya tidak merasa pusing, mata saya juga tak merah, hanya saja saya benar-benar merasakan sakit mata. Namun sakit mata kali ini berbeda, dikarenakan mata sama sekali tak merah dan juga tak bengkak.

 

Kondisi Mata Semakin Sakit

            Saya mengeluhkan hal ini pada Abi Ayya. Ia menyarankan agar saya pergi ke rumah sakit. Tapi saya masih enggan pergi ke Rumah Sakit karena saya cukup khawatir, mengingat saat ini penyebaran covid 19 amat tinggi, terkhusus di DKI Jakarta. Saya mencoba untuk mengurangi melihat layar Hp, saya mencoba untuk banyak istirahat saja pada hari itu.

            Keesokan harinya, mata saya masih saja sakit. Rasanya berat ketika melihat, terkhusus yang sebelah kanan. Saat sujud ketika sholat semakin terasa sakitnya. Saya pun kembali mengeluh pada Abi Ayya, “mata saya sakit, makin sakit sekarang,” ujar saya. Abi Ayya menyuruh saya untuk pergi ke dokter saja, ia menyarankan saya untuk pergi ke Jakarta Eye Center (JEC) Kedoya, Jakarta Barat.

 

Memutuskan untuk ke JEC

            Karena saya sudah tak tahan, akhirnya saya pun memberanikan diri untuk pergi saja ke JEC dengan menggunakan Gocar. Saya tak mau mengendarai motor sendiri ke sana, karena kondisi mata sedang tak baik. Sekitar jam 9.30 wib, saya tiba di Rumah Sakit JEC. Tiba di lobi, saya diminta untuk mengisi semacam aplikasi dari JEC terkait kondisi kesehatan fisik (karena masih dalam masa PPKM).

            Awalnya saya melakukan scan barcode menggunakan HP dan mengarahkan wajah pada layar televisi yang sudah dilengkapi camera pendeteksi suhu (dilakukan secara digital). Setelah suhu badan dinyatakan normal, maka saya diberi stiker hijau (sebagai penanda pengunjung) yang ditempelkan pada bahu dan dipersilahkan untuk masuk.

            Tiba saatnya masuk lobi, saya dibantu petugas untuk melengkapi aplikasi kesehatan terkait kondisi fisik menggunakan handphone. Di sana terdapat beberapa pertanyaan, apakah sedang mengalami demam? Apakah sedang flu? Apakah mengalami flu batuk? Apakah sedang mengalami sakit kepala?, dsb (semua pertanyaan di dalam aplikasi menggunakan bahasa Inggris). Jika kondisi kita dinyatakan sehat setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita dipersilahkan untuk mengambil nomor antrian. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya saya dipersilahkan untuk menuju meja pendaftaran.

Lobi RS JEC KEDOYA Jakarta Barat
Photo by www.jec.co.id

            Suasana di dalam JEC Kedoya sangatlah nyaman. Pengunjung tidak terlalu ramai, pasien RS ini didominasi orang-orang keturunan Cina. Dengan desain interior yang amat modern, kita akan sangat dimanjakan dengan kondisi ruangan yang supernyaman dan bersih. Di sebelah kanan saat masuk akan terlihat semacam mini café yang menjual beberapa pastry dan minuman (mini café di dalam JEC didesain mewah dan amat bersih), selain itu juga dilengkapi dengan kursi-kursi sofa yang nyaman bagi pengunjung yang sedang menunggu antrian. Selain itu JEC juga dilengkapi dengan 1 optik yang berada di samping kiri lobi. Ruangan-ruangan di JEC full AC dan didesain artistik. Dilengkapi juga dengan robot digital berwarna putih yang berkeliling menyampaikan informasi seputar JEC (dengan menggunakan bahasa Inggris).

            Tiba saatnya nomor antrian saya dipanggil. Petugas bagian administrasi pendaftaran sangatlah ramah, dengan menggunakan masker kn95, faceshield serta penutup rambut (medis), mereka melayani dengan sangat profesional. Pertama yang saya lakukan adalah mengeluarkan kartu keanggotaan saya di JEC, setelah itu mengeluarkan kartu asuransi Admedika. Kemudian saya diberi pertanyaan mengenai keluhan mata yang saya rasakan. Petugas pun merekomendasikan beberapa orang dokter spesialis mata yang bisa saya pilih. Ada lebih dari 5 orang dokter yang bisa saya pilih di daftar list dokter Spesialis Mata yang hadir hari itu. Awalnya saya ingin dokter perempuan saja yang memeriksa saya, tetapi karena pasien dokter wanita yang bersangkutan sudah cukup penuh, maka saya memilih dokter spesialis mata yang sekiranya masih sedikit antrian pasiennya.

            Petugas menyarankan untuk memilih dr. Setiyo Budi Riyanto, SpM (K), dikarenakan antrian pasiennya belum terlalu panjang. Saya pun menyetujui. Setelah urusan administrasi selesai, saya pun dipersilahkan untuk naik ke lantai 3 dan menuju ruangan praktek dr.Setiyo Budi, SpM (K). Saya menuju lantai 3 menggunakan lift, sebelum memasuki lift, saya menggunakan handsanitizer yang terletak di depan lift (hanya cukup mengarahkan tangan saja ke arah handsanitizer, maka cairannya akan otomatis keluar sendiri). Setelah itu saya masuk ke dalam lift dan langsung menuju lantai 3. Di dalam lift pun telah dibuat sedemikian rupa menggunakan tanda di lantai yang menunjukkan tempat berdiri pengunjung agar tidak berdempetan saat berada di dalam lift.

Kondisi di dalam lift
Photo by Me


            Di lantai 3 saya menyerahkan berkas saya ke ruangan pemeriksaan mata sebelum menuju ke praktek dokter. Di sana saya dipersilahkan untuk menuju ruangan observasi terlebih dahulu yang terletak di sebelah ruangan pemeriksaan awal. Di ruang observasi, suhu saya kembali dicek dan tensi darah saya juga diukur secara manual. Setelah dinyatakan normal, maka saya baru boleh memasuki ruangan pemeriksaan awal.

            Di dalam ruangan pemeriksaan awal, saya diberi pertanyaan terkait keluhan apa yang saya rasakan. Saya mengatakan bahwa mata saya seperti ada yang menyemprot dan kemudian terasa sakit terlebih pada bagian sebelah kanan. Saya diminta untuk melepas kaca mata. Dengan menggunakan alat khusus, bagian kanan dan kiri kaca mata saya di scan, dan diketahui berapa minus dan silindris kaca mata saya tersebut.

            Tahap selanjutnya, dilakukan pemeriksaan mata mata untuk mengetahui apakah mata saya minusnya bertambah atau tidak, masih menggunakan alat yang sama. Saya diminta untuk menebak huruf dan angka yang terdapat dalam monitor, (pemeriksaan mata dilakukan secara digital). Penggunaan alat kesehatan  dilakukan dengan menggunakan protokol kesehatan, di mana setelah saya menempelkan dagu, alat tersebut disemprot cairan steril dan kemudian dikeringkan menggunakan tisu terlebih dahulu baru digunakan kembali. Kemudian pemeriksaan selanjutnya adalah mengukur ukuran bola mata, saya kembali diminta untuk meletakkan dagu saya ke alat pemeriksa mata, kemudian saya diberi perigatan bahwa nanti mata saya seperti disemprot sedikit dengan menggunakan angin. Setiap pemeriksaan dilakukan secara digital dan detail.

            Setelah melakukan tahap pemeriksaan awal, saya pun membawa berkas hasil observasi awal yang sudah diprint out ke bagian dokter spesialis. Saya pun dipersilahkan menunggu. Sekitar setengah jam saya menunggu. Ruang tunggu yang didesain nyaman ini juga dilengkapi dengan aquarium yang menarik untuk diperhatikan. Selain itu ruang tunggu juga bersebelahan dengan ruangan Lions Eye Bank Jakarta (LEBJ).  LEBJ  merupakan yayasan nonprofit  terkait penyediaan, pengambilan dan distribusi jaringan kornea terbaik.

Photo by Me

 Pemeriksaan Mata oleh Dokter

            Tiba giliran saya masuk ke ruangan pemeriksaan. Saya bertemu dengan Dokter Setiyo Budi, dokter paruh baya yang ramah. Pertama saya ditanya mengenai keluhan apa yang saya rasakan. Kemudian mata saya kembali diperiksa dengan menggunakan alat khusus, di mana dagu saya diletakkan pada alat tersebut, sementara mata saya diperiksa dengan menggunakan alat seperti monitor. Hanya dalam hitungan detik hasil diagnose mata saya muncul di layar yang terletak di depan tempat saya diperiksa. Dokter pun menjelaskan masalah yang terjadi pada mata saya. Permasalahan yang saya alami pun segera diketahui.

            Saya mengalami mata kering, yang menyebabkan mata saya perih, seperti ada yang menyemprot dan kemudian sakit. Hal ini diakibatkan karena saya seringkali melihat screen laptop, handphone dan juga seringkali berada di ruangan ber AC. Saya disarankan untuk tidak melihat layar screen terlalu lama dan harus meneteskan obat tetes mata per 3 jam sekali. Kemudian saya juga diberi vitamin mata yang harus saya minum selama 2 bulan. Minus  mata saya pun naik, menjadi minus silindris 1,5 pada mata kanan dan minus 1 pada mata kiri.

            Usai menjelaskan dengan detail. Dokter tersebut bertanya apakah masih ada keluhan atau pertanyaan lain?. Saya pun menjawab tidak ada, karena sudah sangat jelas. “Oke terima kasih Ibu, sampai jumpa kembali,” ucap dokter tersebut sembari memberi salam jarak jauh kepada saya.

Photo by jec.co.id


            Saya dipersilahkan petugas untuk menuju bagian administrasi dan kemudian menuju bagian farmasi. Setelah urusan administrasi selesai, saya pun menuju bagian optik untuk mengambil catatan kondisi mata saya. Saya tidak membeli kaca mata di optik yang disediakan JEC. Terakhir saya megambil fotokopi resep di bagian farmasi. Saya berniat segera pulang ke rumah, karena suami saya akan sholat Jumat di masjid. Nanti usai sholat Jumat, suami saya saja yang akan mengambil resep obat ke RS JEC Kedoya.

 

Informasi lengkap mengenai RS JEC KEDOYA dapat diakses di www.jec.co.id

laman instagram JEC Eye Hospitals & Clinics