Jodoh adalah cerminan diri, namun
dengan siapa kita akan bersanding nantinya, hanya Allah SWT yang tahu.
 |
Sumber Gambar pngtree |
Berbicara
mengenai jodoh merupakan hal yang seru pastinya, apalagi berbicara tentang,
“kok bisa sama doi sih?, gimana ketemunya?.” Nah pasti
itu tuh yang bikin seru.
Kalau aku pribadi
sih nih, pertemuan dengan jodohku ya... bisa dibilang rumit,tapi bisa juga
dibilang nggak. Dibilang nggak ya karena aku
mencoba untuk berusaha seenjoy mungkin saat menantinya (walau
aslinya berat banget ya Allah, pengen nangis,
wkwk). Tapi kalau dibilang berat ya berat juga sih, soalnya aku itu sudah
diminta menikah di usia 24 tahun oleh mamaku, sementara menginjak usia 27
tahun, belum juga adayang pas.
Btw nih
ya, ada yang samaan gak nih ceritanya sama aku soal pencarian
jodohnya? Ayoook cerita dong, ya kali aja kan ada yang
pengalamannya sama banget sama aku, hehe. Okey aku spoiler sedikit
yah kalau begitu, aku itu ketemu Pak Suami lewat facebook loh
saudara-saudara, hehehe. Jadi awal kita komunikasi langsung ya lewat facebook. Sudah kebayang belum
kira-kira kok akhirnya bisa jadi jodoh?, hee..
Nah,
jadi begini, aku sama Pak Suami itu sama-sama mahasiswa tadinya, di satu
Universitas Negeri di Yogya. Kami berdua sama-sama mengambil kuliah di ilmu
komunikasi, cuma aku ambil master, Pak Suami ambil doktoral. Kita berdua saat
itu ambil kelas yang sama, sehingga ada 3 kali pertemuan kita dipersatukan di
satu kelas dengan dosen yang sama. Aku kan orangnya kadang jaim gitu ya,
yah jadi gengsi dong kadang kalau mau tegur duluan, yaudah karena
Bapak satu ini gak pernah tegur aku, yausyudaah, aku
juga gak negur dong. Padahal kita tuh sering loh ketemu
di area sekitaran perpustakaan pusat Universitas. Ya di ruangan yang sama, ya
pas lagi jajan di kantin perpustakaan atau pas lagi sholat di mushola
perpustakaan, nah satu lagi di parkiran perpus! Haha, tapi teteup aja
kita gak pernah teguran.
Syukur alhamdulillah, pertengahan
tahun 2016 aku lulus dari pendidikan pasca, aku yang dapat tawaran kerja saat
itu, akhirnya memilih untuk pulang ke Kota Bengkulu untuk menjadi dosen di
sana. Ya sudah, sejak saat itu, aku berpindah domisili dari Yogyakarta ke
Bengkulu. Hari-hariku dipenuhi dengan mengurusi mahasiswa dan mengajar. Kalau
mau dikalkulasi aku sudah memiliki lebih dari 100 mahasiswa, walaupun aku
adalah dosen junior saat itu. Alhamdulillah. Memang aku dari dulu paling
semangat kalau diberi amanah mengajar, karena terkadang aku seperti sedang
melakukan self healing saat mengajar.
Mendengar tawa canda mahasiswa di dalam kelas, atau melihat mereka yang
kebingungan saat menjawab pertanyaan diskusi merupakan suatu kesenangan
tersendiri bagiku.
Di pertengahan mengajar di Bengkulu,
aku merasa ada yang kurang. Rasanya aku ingin mencari peruntungan di luar Kota
Bengkulu. Menurutku, prospek kerja di luar Kota Bengkulu akan menjadi lebih
besar, apalagi menjadi seorang pengajar. Aku memang dari dulu suka sekali
tantangan. Hal itulah yang membuatku ingin sekali bekerja di Jakarta atau
Bandung. Tapi ayahku berpesan, jika ingin kerja di luar Bengkulu, maka harus
menikah dulu, harus ada yang tanggung jawab di Jakarta atau Bandung, jangan sendirian di sana. Jujur aku sedih dong karena tidak diizinkan, tapi apa
mau dikata, aku tetap berniat dalam hati, “Ya Allah…, semoga jodohku jauh,
kalau bisa yang kerjanya di Jakarta, aamiin.” Memang sih mungkin doaku terlalu muluk, minta jodoh kok begitu syaratnya, tapi ya
mau gimana, aku tetap ingin keluar
Bengkulu. Tapi tetap dong yah, syarat
utama adalah sholeh.
Pertemuan di Dunia Maya
Antusias untuk kerja di luar Kota
Bengkulu membuatku mencari-cari informasi tentang lowongan kerja dosen di luar
Kota Bengkulu, salah satunya Jakarta. Saat itu, aku tak sengaja melihat temanku
mengomentari status seorang dosen Binus Jakarta melalui laman facebook. Kebetulan lagi, beliau adalah
dosen ilmu komunikasi. Wah, langsunglah aku kepo
facebooknya, dan aku add. Ternyata beliau cepat respek, malah
aku diinbox dengan kata pertamanya, “Terima kasih sudah add,” ujarnya. Ya aku balaslah pesan inbox nya. Aku langsung pura-pura sok akrab dengan mengatakan, “kita pernah satu kelas loh dulu, di
kelasnya Mbak Hermin.” “Wah iya ya,” ujarnya. Kami pun bertukaran nomor
WhatsApp. Aku malah heran, saat awal chat via facebook, kok beliau nanya umur saya, malah saya dibilang, “Mbaknya sudah menikah ya?
Mbaknya umur 35 ya?,” chatnya saat
itu. Lah aku jawablah, “apa iya aku terlihat setua itu? Lagian aku ini belum
menikah loh."
 |
Sumber Gambar Kompas.com |
Perbincangan kami pun berlanjut
melalui pesan WhatsApp. Aku merasa agak aneh juga, kenapa orang ini senantiasa
menanyakan hal-hal personal, seperti ayahnya kerja di mana? Berapa bersaudara?
Ibu kerja di mana? Rencana memang mau mengajar di Bengkulu saja atau
bagaimana?. Aku yang notabene saat
itu sudah berusia 27 tahun pasti risih
dong ditanya seperti itu. Akhirnya aku cerita lah sama teman dekatku, aku bilang, coba kamu tanya sama
bapak dosen itu sebenarnya mau apa? Kalau mau cari jodoh, ya lamar saja, toh
aku memang lagi cari jodoh juga. Tapi kalau cuma mau Wa saja, mendingan jangan sama aku, karena aku sibuk. Lagian menurutku usia 27 tahun itu bukan
masanya lagi untuk main-main.
Singkat cerita, temanku memang bertanya langsung pada bapak dosen ini via inbox facebook. Pertanyaannya sama seperti yang aku anjurkan, tanpa editing sedikit pun (hehe). Ternyata memang tujuan beliau bertanya iniitu padaku karena ingin
mencari jodoh.
Aku berpesan kembali pada temanku untuk menyampaikan pesan padanya, "kalau memang serius silahkan ke Bengkulu
bertemu langsung dengan kedua orang tuaku," itu saja pesanku. Lalu beliau menjawab, "ya
nanti saya akan ke Bengkulu jika saya sudah sidang disertasi dan dinyatakan
lulus S3," ujarnya pada temanku mellaui inbox fb. Aku pun mengiyakan ketika diceritakan perihal pesan tersebut oleh temanku, karena jujur saja aku cuma menguji keseriusan
beliau saja saat itu, tidak terlalu menganggap serius. Kami malah sempat lost contact beberapa waktu.
Keputusan Menikah
Tahun 2018 hampir tiba, sementara
jodoh tak kunjung tiba. Bukan sekali dua waktu ada saja yang ingin memberikan
niat baiknya padaku. Bahkan ada Ustad kondang dari Yogya khusus datang
kerumahku menawarkan koleganya yang sedang mencari jodoh. Ustad tersebut
berkata bahwa ada koleganya yang merupakan pemilik Rumah Qurban Yogyakarta yang sedang mencari jodoh. Beliau berkata bahwa pemuda tersebut adalah seorang pemuda sholeh. Tapi entah mengapa, ketika
melihat proposal taarufnya, aku agak keberatan, ada rasa kurang klop. Belum lagi ada juga teman saat kuliah dulu, yang sempat juga
mendekati, tapi ketika aku tanya keseriusannya, dia malah bilang, “saat ini aku
belum jadi dosen, toh impianmu kan menikah dengan seorang dosen.” Padahal
menurutku itu cuma pernyataan ujian saja dariku, kalau memang serius, toh pasti
akan melamar, bukan malah mundur sebelum maju.
Dalam masa menanti jodoh, aku
berusaha untuk tetap fokus mengajar. Aku berusaha jadi orang yang lurus, tidak
ingin macam-macam, tidak ingin yang aneh-aneh. Pokoknya berusaha baik. Berusaha
mempersiapkan diri sebaik mungkin, walau entah jodoh kapan datangnya. Aku mulai
mempersiapkan diri dengan banyak latihan memasak, berusaha untuk selalu tampil
bersih dan rapi, tak lupa juga untuk rajin membersihkan rumah. Pokoknya aku
benar-benar berusaha ingin menjadi baik. Aku juga sempat mengikuti sekolah
pranikah yang diadakan di Kota Bengkulu saat itu. Menurutku sekolah pranikah
itu sangat penting bagi orang yang ingin menikah, karena menikah itu ibadah
seumur hidup, maka sangat dibutuhkan ilmunya.
Sudah banyak sekali persiapan yang
kulakukan, doa pun sudah. Aku hanya tinggal menunggu jawaban Allah atas
doa-doaku. “Ya Allah siapa saja yang akan melamarku di waktu dekat ini dan dia
adalah orang yang sholeh, akan aku terima, sama sekali tak akan kutolak. Siapa
pun itu, yang serius ke rumah bertemu dengan kedua orang tuaku," doaku saat itu.
Sekitar tujuh
bulan lamanya aku berikhtiar, akhirnya doaku terjawab. Entah darimana pasalnya, beliau yang dulunya pernah
menjanjikan akan datang ke Kota Bengkulu usai ujian disertasi, benar-benar
memenuhi janjinya. Entah angin apa juga yang membuatku harus memenuhi janji akan doaku, siapapun yang akan ke rumahku dan berniat akan melamar, makakan aku terima. Usai pertemuan pertama di rumah orang tuaku, ia sama sekali
belum menyampaikan maksud kedantangannya, hanya semacam silaturahmi biasa. Namun saat ia kembali ke Jakarta, ia
justru mengatakan padaku bahwa lebih baik aku dan dia menikah dalam waktu dekat
ini dan aku pun menyetujui.
Aku sama sekali tak menyangka, kalau
jawaban dari doaku adalah beliau. Jika dibandingkan, umur kami sangatlah
berbeda, aku saat itu berusia 27 tahun, sementara beliau 37 tahun. Kami terpaut usia 10 tahun.
 |
Sumber Gambar dekoruma.com |
Saat itu kakakku sempat ragu, “apa kamu yakin akan menikah dengan orang yang
usia nya terpaut 10 tahun?, jauh loh jarak usianya.” Ya tentu saja aku menjawab yakin, sambil dalam hati berbisik, "toh
aku sudah berdoa pada Allah, siapapun
yang akan melamar dengan serius datang ke rumah dan bertemu Ibu dan
Ayah, maka dialah yang akan aku terima."
Seperti semesta mendukung, persiapan
pernikahan kami hanyalah sekitar 3 bulan saja. Kami menikah di tanggal 20
Januari 2018 di Kota Bengkulu. Allah benar-benar menjawab doaku, aku menikah dengan orang jauh, yang asli Pulau Muna, Sulawesi Tenggara dan juga tentunya orang ini tidak bekerja di Bengkulu. MasyaAllah.
Suka Duka Pernikahan
Menikah beda usia, tentu banyak suka
dukanya. Tapi menurutku ketika kita paham ritmenya dan mampu menyesuaikan, maka
segalanya bisa saja dilalui. Memang suami sudah sangat senior, saat ini beliau
adalah salah satu dosen yang cukup senior di kampus, kiprahnya sangat jauh jika
dbandingkan aku. Tapi aku tentu menjadikan itu semua sebagai lecutan semangat.
Menikah beda usia, justru membuatku
mawas diri, bahwa aku harus benar-benar paham menempatkan segala sesuatu sesuai
porsinya. Sebagai
istri harus mampu menjaga marwah dan kehormatan keluarga. Kita harus mampu menjaga
nama baik keluarga. Sebagai istri, kita juga harus mampu menempatkan diri dengan
baik.
Bismillah, memang menikah tak
selamanya indah, pasti ada ujian di dalamnya. Tetapi jika diniatkan ibadah,
maka kita akan senantiasa bersyukur dan berusaha untuk melewati itu semua dengan
baik. Semoga akan menjadi sakinah selamanya. Aamiin.