Top Social

Kisah Memoar Bersama Batik Besurek

Minggu, 24 Desember 2017


Motif Batik Besurek Bengkulu 
Sumber Foto : Dokumen Pribadi, 
Foto diambil pada salah satu toko Oleh-Oleh khas Bengkulu, 
Toko Joewada (Jalan Soekarno Hatta, Kota Bengkulu)


Saya memiliki darah Bengkulu dari garis keturunan Ayah. Darah Talo (Suku Serawai Bengkulu) merupakan darah yang mengalir dalam keluarga Ayah. Sementara Ibu saya adalah orang asli Sunda. Jadi, saya adalah ‘Indolokal Blasteran’, di mana istilah ini saya sebut untuk menjelaskan asal-usul garis keturunan saya (SerawaiSunda).
            Kehadiran saya di tanah kelahiran Ayah, tentunya baru berlangsung 18 tahun, karena masa kecil saya banyak saya habiskan di Nusa Tenggara Timur (Kupang dan Rote), di mana tempat kelahiran saya adalah Kupang. Kepindahan saya ke Bengkulu, tentunya membuat saya mengalami banyak kisah-kisah manis. Walaupun terkadang, sebagai anak baru di sekolah, saya merasa sedih juga, karena anak-anak kebanyakan sering mengolok-ngolok saya dengan istilah ‘anak Tim-Tim’. Mereka menjuluki saya seperti itu, dikarenakan pada waktu kepindahan saya tersebut, konflik terpisahnya Timor Timur (Tim-Tim) dari Indonesia baru saja terjadi. Dan mereka menganggap bahwa NTT adalah Tim-Tim. Walau pun begitu, karena saya merupakan anak yang cukup pemberani, saya tidak serta merta menangis atau malu ketika diolok-olok seperti itu, justru saya malah dengan lantang berkata bahwa Tim-Tim bukanlah NTT (walaupun setelah pulang sekolah, terkadang saya sedih juga membayangkan olok-olokan mereka).
            Kepindahan saya ke Bengkulu, tentunya membawa saya menuju hal-hal baru, tidak terkecuali adanya perbedaan beberapa mata pelajaran dengan sekolah sebelumnya. Di sekolah baru tersebut (SDN 52 Kota Bengkulu), saya mendapatkan pelajaran baru untuk mata pelajaran muatan lokal, yakni batik besurek. Sepengetahuan saya waktu itu, batik besurek adalah batik khas Bengkulu. Dan memang benar anggapan saya saat itu bahwa batik ini adalah salah satu warisan budaya terbaik yang dimiliki oleh Bengkulu.


Motif Batik Besurek Bengkulu 
Sumber Foto : Dokumen Pribadi, 
Foto diambil pada salah satu toko Oleh-Oleh khas Bengkulu, 
Toko Joewada (Jalan Soekarno Hatta, Kota Bengkulu)
Dalam proses belajar-mengajar tentang batik besurek di tingkat SD, kami hanya diajarkan untuk menggambar motif-motif kain besurek pada buku gambar kami, kemudian diwarnai sesuai dengan selera kami masing-masing dan setelah itu diberi penilaian.
Lulus dari SD, saya pun mendaftar di salah satu SMP, yakni SMPN 4 Kota Bengkulu. Nah, saat SMP, mata pelajaran kain besurek juga saya dapatkan, tetapi metode ajarnya lebih mendalam, karena selain kami para siswa dimintai untuk menggambarkan motif kain batik besurek di buku gambar kemudian mewarnainya, kami juga diberikan pendalaman materi, yakni mengenal beragam motif kain batik besurek beserta maknanya. Selain itu, kami juga diajarkan bagaimana menggunakan lilin (malam) yang baik saat membatik, kemudian bagaimana cara memilih perpaduan warna yang baik dalam batik besurek, agar batik besurek yang diproduksi nanti menarik dan memiliki nilai estetika. Tidak hanya itu, kami juga diajarkan bagaimana cara membuat batik besurek dalam skala kecil (yakni membuat sapu tangan dan taplak meja kain batik besurek).
            Berikut merupakan beragam contoh motif dasar batik besurek beserta maknanya.
a.    Motif Kaligrafi.
Motif Kaligrafi Batik Besurek
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Kaligrafi merupakan motif yang menjadi ciri khas dari kain Basurek. Oleh karena itu, motif ini akan selalu ada di setiap helai kain Basurek yang dibuat. Pemanfaatan kain ini biasa digunakan oleh pembantu Raja, penghulu, dan pengapit pengantin nikah. Digunakan sebagai ikat kepala, atau detar istlah yang lebih dikenal oleh masyarakat di Kota Bengkulu. Huruf kaligrafi yang digunakan merupakan kaligrafi Arab, dengan warna dasar kain  berwarna biru.
  
b.    Motif Pohon Hayat dan Kaligrafi
Motif Pohon Hayat Batik Besurek.
Sumber Foto http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Motif pohon hayat merupakan motif tradisional yang berasal dari Bengkulu. Motif ini dipadukan dengan motif kaligrafi Arab, dan memiliki fungsi sebagai hiasan yang disampirkan dalam bilik pengantin pada acara pernikahan. Warna dasar dari kain Basurek ini biasanya dibuat dengan menggunakan warna biru.

c.    Motif Kaligrafi dan Kembang Melati
Motif Kembang Melati.
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Motif kembang melati merupakan salah satu bentuk motif tradisional yang dipakai di kota Bengkulu. Motif ini dipadukan dengan motif kaligrafi Arab, dan kegunaan kain ini biasanya dipakai pada saat acara adat, dan acara cukur bayi. Warna dasar yang digunakan adalah warna merah kecoklat-coklatan.

d. Motif Relung paku, Perpaduan Burung, dan Kaligrafi 
Motif Relung Paku
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Motif relung paku dengan perpaduan burung merupakan bentuk perpaduan dua unsur yang berbeda. Kedua motif tersebut merupakan motif tradisional yang biasa digunakan di Bengkulu. Motif tersebut dipadukan dengan kaligrafi Arab, dan biasa dipakai sebagai sampiran pada acara cukur bayi. Warna dasar kain ini dibuat dengan menggunakan warna coklat dan krem.

e. Motif Bunga Cengkeh, Cempaka, dan Kaligrafi 
Motif Bunga Cengkeh dan Bunga Cempaka pada Batik Besurek
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Motif bunga cengkeh dan bunga cempaka, merupakan bentuk perpaduan dua jenis motif dari unsur yang sama. Motif-motif tersebut merupakan motif tradisional yang biasa digunakan di Bengkulu. Kedua motif tersebut dipadukan dengan motif kaligrafi Arab, dan biasa digunakan pada acara adat, acara perkawinan, dan acara mengikir gigi. Warna dasar yang digunakan adalah merah kecoklat-coklatan.

 f. Motif Kaligrafi berbentuk Burung Kuau. 
Motif Kaligrafi dan Burung Kuau pada batik besurek.
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Burung kuau yang terdapat pada kain Basurek jenis ini dibuat dengan huruf kaligrafi Arab yang disusun sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bentuk mirip sebuah burung. Burung kuau merupakan burung yang banyak terdapat di daerah Sumatera. Kain jenis ini biasanya digunakan pada acara adat, dan dalam rangkaian acara pernikahan yang dipakai oleh pengantin putri untuk pergi berziarah kubur. Warna dasar yang digunakan pada kain ini adalah warna biru.

g. Motif Rembulan dan Kaligrafi. 
Motif Rembulan dan Kaligrafi dalam Batik Besurek
Sumber Foto : http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html

Motif rembulan merupakan salah satu motif tradisional yang menggambarkan alam semesta. Motif ini biasa digunakan sebagai penghiasn kain Basurek di Bengkulu. Motif tersebut dipadukan dengan kaligrafi Arab, dan memiliki fungsi dan kegunaan untuk calon pengantin putri dalam rangkaian perniakahan (acara siraman/mandi). Warna dasar kain ini biasanya menggunakan warna merah.

            Setelah mempelajari tentang beragam motif dasar batik besurek beserta makna dan fungsinya, kami pun melanjutkan proses pembelajaran dengan mempelajari tentang beragam lilin batik, serta mempelajari pemilihan warna-warna dalam batik besurek, kami pun diberikan pendalaman materi mengenai praktek membatik. Dari proses pembelajaran praktik membatik inilah, saya memahami bahwa membuat batik tulis besurek tidaklah semudah yang saya bayangkan sebelumnya, di mana proses yang ditempuh sangatlah panjang dan memakan waktu yang tidak sebentar. Mulai dari mendesain motif kain batik besurek sesuai dengan motif yang diinginkan, kemudian menuliskan motif yang telah sesuai tersebut pada kain mori (kain khusus untuk batik), setelah itu mulai melilin dengan menggunakan lilin malam yang dipanaskan dan dicairkan.
Canting dan lilin yang sudah siap digunakan untuk membatik
Sumber Foto : https://jualprodukberkualitas.com/proses-pembuatan-batik-tulis/

Dalam proses melilin ini dibutuhkan kehati-hatian dan ketelitian, karena jika tidak teliti, maka lilin akan meluber dari canting batik (alat untuk melilin), hal ini menyebabkan motif batik menjadi tidak beraturan (tidak sesuai  motif yang digambar). Selesai melilin, kemudian dilakukan proses mencelup.
            Dalam pembuatan batik tulis yang hanya memiliki satu dasar warna, maka cukup dilakukan proses mencelup. Bagian yang kain yang akan tertutupi lilin, maka akan berwarna putih, sementara dasar kain yang tidak tertutupi lilin, akan berwarna sesuai dengan warna yang telah dipilih. akan berwarna sesuai dengan warna cairan pewarna. Dalam teknik membatik seperti inilah dikenal dengan teknik mencelup. Setelah teknik mencelup berhasil dilakukan, maka teknik selanjutnya adalah ‘mlorot’, di mana caranya dimulai dengan memasak air hingga mendidih, kemudian kain yang sudah selesai melalui tahap pewarnaan akan direbus menggunakan air ini. Dengan begitu malam yang menutupi kain akan ikut mencair dan motif batik akan terlihat.
            Dari proses membatik yang saya pelajari di SMP, tentunya membawa kesan yang amat berkesan. Karena dengan mempelajari proses membatik tersebut, saya jadi mengerti, bahwa warisan budaya Bengkulu yang satu ini, memiliki filosofi yang mendalam. Berdasarkan sejarah, Batik Besurek telah ada sejak abad ke-16, saat penyebaran Islam mulai gencar di Kota Bengkulu.

Seragam Batik Besurek SMANDA penuh kenangan.
Jika tadi saya banyak berbicara tentang bagaimana awal pengenalan saya dengan batik Besurek, maka kali ini, saya akan berbagi cerita tentang seragam batik besurek saya saat SMA yang penuh dengn kenangan. Saya adalah alumni Smanda Bengkulu. Smanda merupakan singkatan yang digunakan orang-orang di Kota Bengkulu untuk menyebut SMA Negeri Dua Kota Bengkulu yang terletak di Jalan Mahoni. Saat saya mendaftar masuk ke sekolah ini, saya diberikan kewajiban untuk menggunakan seragam batik besurek, di mana seragam tersebut berwarna biru muda. Motif dan corak batik tersebut juga menarik dan sangat nyaman digunakan, karena berbahan kain yang dingin jika dikenakan.
Seragam Batik Besurek penuh kenangan. Foto diambil pada Desember 2017.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi.

Ada cerita menarik, terkait dengan seragam batik ini, di mana Kakak-Kakak tingkat saya sebelumnya, memiliki motif batik besurek masing-masing tiap angkatan. Untuk kelas XI (warna motif batik saat itu adalah hijau toska), sementara untuk anak kelas XII (menggunakan warna motif batik hitam dan kuning). Saya pun sempat bertanya-tanya, mengapa motif seragam batik besurek di SMA ini berbeda-beda setiap angkatan? (Hingga saat ini saya pun tidak mendapatkan jawabannya). Namun, setelah saya naik ke kelas XI, maka motif kain batik SMANDA telah dipatenkan, yakni berwarna biru muda, sesuai dengan motif batik besurek yang saya gunakan. Nah, motif dan warna batik ini, hingga saat ini tetap digunakan tanpa terjadi penggantian kembali.
Jujur saja, dari empat jenis seragam sekolah (putih dan abu, baju batik besurek, baju muslim dan baju olahraga), saya paling nyaman menggunakan seragam batik besurek. Karena kain batik besurek ini sangat dingin dan halus ketika digunakan, berbeda dengan jenis kain di seragam lainnya. Selain itu, warna batik besurek yang cerah dan menarik, membuat saya tampil lebih anggun menarik.


Karena saya sangat menyukai dan merasa nyaman dengan seragam batik besurek tersebut, maka saya berniat untuk menyimpan seragam tersebut, walaupun saya telah lulus dari Smanda. Dan tentunya, hal itu benar-benar saya lakukan. Setelah hampir sembilan tahun saya lulus dari Smanda,baju tersebut masih tersimpan rapi di dalam lemari saya. Dan tentunya, warna dan kehalusan kainnya masih tetap terjaga seperti dahulu.
Saya dahulu pernah berniat, suatu waktu, setelah saya lulus nanti, saya berniat untuk menggunakan kembali pakaian seragam tersebut dan berfoto menggunakan seragam itu kembali di Smanda. Dan tentunya, hal ini benar-benar terwujud saat ini. Setelah hampir sembilan tahun, saya kembali mengenakan seragam tersebut dan ternyata masih bisa saya gunakan seperti dahulu. Tanpa berpikir panjang, saya pun pergi ke Smanda dan berfoto-foto di sana menggunakan seragam Batik Besurek.
Selfie di depan ruang kelas saat kelas XI IPS A SMA dahulu, sekarang telah menjadi Kelas IPA.
Foto diambil pada Desember 2017
Sumber Foto : Dokumen Pribadi.

Saya sengaja mengunjungi SMANDA saat sore hari, agar tidak lagi banyak murid yang dan guru yang berlalu lalang. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Smanda, memoar masa-masa SMA kembali terkenang, walaupun sudah banyak perubahan-perubahan gedung dan fasilitas di sana.
Back To School
Foto diambil pada Desember 2017
Sumber Foto : Dokumen Pribadi


Berfoto di depan pintu masuk SMANDA Bengkulu dengan menggunakan Seragam Batik Besurek.
Kembali mengenang masa-masa SMA, 9 Tahun yang lalu.
Foto diambil pada Desember 2017
Sumber Foto : Dokumen Pribadi.




http://www.bloggerbengkulu.com
Saat ini, seragam tersebut sudah tidak saya gunakan lagi, tetapi seragam ini akan tetap saya simpan di dalam lemari. Hal ini akan saya jadikan barang kenangan untuk kemudian dijadikan bahan cerita bagi  anak cucu saya nantinya.

Sumber Referensi :

Anonim. Batik Besurek Bengkulu. http://blogkasihpunya.blogspot.co.id/2016/12/batik-besurek-bengkulu.html.  Diakses pada tanggal 24 Desember 2017.

Anonim, Jual Produk Batik Berkualitas. https://jualprodukberkualitas.com/proses-pembuatan-batik-tulis/. Diakses pada tanggal 24 Desember 2017.

Haryono, Linda. Nilai dan Makna pada Kain Batik Besurek yang Mengandung Unsur Kaligrafi Arab di Bengkulu. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=103737&val=1378. Diakses pada tanggal 24 Desember 2017.





            

Rindu Dibalas Temu Di Rumah Peradaban IMC

Kamis, 21 Desember 2017


IMC, ketika mengingat nama itu, maka yang akan terbayang di benakku adalah suatu ikatan ukhuwah yang erat serta bersahaja. Ya, tentu saja, karena di dalam IMC inilah, aku menemukan beberapa sahabat, yang kemudian aku menyebutnya sahabat hingga ke syurga (insyaAllah).

IMC merupakan singkatan dari Intelectual Moslem Community. Merupakan salah satu Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu. Selayaknya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), IMC merupakan suatu wadah untuk mengembangkan bakat dan kreatifitas mahasiswa FISIP dengan dasar pedomannya adalah dakwah Islam. LDK IMC sendiri telah dibentuk sejak tahun 1995, dengan jumlah anggota kader yang kian bertambah hingga saat ini. Di dalam LDK ini, mahasiswa Fisip dapat mengembangkan bakatnya sesuai dengan minat masing-masing.

Aku dan IMC, kisah tiada akhir.
Aku adalah mahasiswa Fisip UNIB kala itu (2008-2012). Perkenalan dengan IMC terjadi saat masa OSPEK dimulai. Sedari SMA, aku memang sudah aktif di ekskul rohis (rohani Islam), sehingga UKM yang aku pilih tentunya yang berdasar pada kegiatan rohis. Nah, IMC adalah pilihan yang tepat menurutku saat itu. Seperti biasa, label yang diberikan pada aktivis rohis adalah jilbab lebar, celana cingkrang dan berjanggut. Tentunya, aku tidak peduli dengan label-label tersebut, entah mengapa, aku merasa nyaman saja, berada dengan orang-orang yang memiliki satu visi dan misi denganku, yakni berjalan di jalan dakwah.
Perjalanan bersama IMC tentunya melahirkan beragam kisah. Agenda kegiatan kami yakni kajian rohani, upgrading kepengurusan dan anggota IMC, rihlah (wisata alam), diskusi-diskusi pengembangan diri, buka puasa sunnah bersama, serta terkadang kami mengadakan rujak party. Memang terdengar sederhana, namun tentunya bagi kami kami anggota IMC, hal tersebut merupakan hal yang luar biasa.

Ingat IMC, maka ingat Hamad
Dari IMC ini jugalah, aku bertemu dengan sahabat-sahabatku yang hingga saat ini tetap ‘eksis di hati’. Kami menyebut geng kami adalah Hamad, di mana Hamad merupakan singkatan dari ‘Hantu Mading’. Mengapa dinamakan Hantu Mading? Hal ini dikarenakan, kami dikumpulkan berdasarkan keikutsertaan kami dalam lomba mading 3 dimensi yang diadakan oleh UKM Kerohanian Islam Universitas Bengkulu. Karena Mading 3 Dimensi dibuat berhari-hari, maka secara otomatis kami seringkali bersama, bahkan sampai merelakan waktu istirahat kami untuk menginap bersama menyelesaikan mading (majalah dinding) tersebut. Dan alhamdulillah, mading yang kami lombakan mendapatkan predikat juara 2 saat itu. ^_^
Nah, dari sinilah kemudian kami saling akrab hingga saat ini. Anggota Hamad adalah aku sendiri, Mira Apriani, Erlisa Widyatuti, Voettie Wisataone, dan Zainab At-Tazkiyah. Kami memliki sifat dan karakter masing-masing, dan tentunya ciri khas kami ini pula yang kemudian membawa kami menjemput kesuksesan masing-masing. Hingga saat ini, dari kami berlima yang baru menikah adalah Mira, sementara kami berempat masih sedang/akan menuju walimah (pernikahan, #eh... ).

Foto Bersama Para Anggota Hamad dengan Mading 3 Dimensi IMC tahun 2010.
Dari Kiri-Kanan : Tazki, Erlis, Mira, Yue (aku sendiri), dan Voe)


Rindu Dibalas Temu Alumni di Rumah Peradaban
Karena qadar Allah tentunya, aku bersama teman-teman lainnya tetap bersama di dalam LDF ini hingga akhir waktu kami berada di Universitas Bengkulu. Bahkan, hingga kami menjadi alumni pun, rindu dan kenangan-kenangan tentang IMC masih saja melekat di hati kami.
Dan karena qadar Allah juga, akhirnya aku dan teman-teman alumni IMC lainnya mendapatkan undangan temu alumni yang dilaksanakan di Universitas Bengkulu pada tanggal 16 Desember 2017, di Ruang Aula Dekanat FKIP.
Berdasarkan kesiapan dari panitia yang diketuai oleh Angga Priyono (Mahasiswa Sosiologi angkatan 2016), dari keseluruhan alumni IMC yang telah mendapatkan undangan, yang bersedia hadir hanyalah 30 orang. Hal ini dikarenakan banyak alumni IMC yang berdomisili di luar provinsi Bengkulu dan memiliki aktivitas masing-masing yang tentunya sangat padat. Walaupun peserta alumni yang hadir hanyalah 30 orang, namun acara tetap berlangsung dengan baik dan haru. Kami, para alumni, bertemu dengan adik-adik penerus kami dalam satu forum, di mana untuk keanggotaan IMC yang hadir saat itu berjumlah 50 orang, MashaAllah...
Dari ragam agenda acara yang berlangsung, saat paling haru adalah saat para perwakilan alumni menceritakan kisah mereka masing-masing di IMC, mulai dari alumni yang paling awal masuk IMC yakni pada tahun 1995, hingga alumni angkatan 2013 yang tanggal 20 Desember kemarin baru diwisuda.
Sebelum acara selesai, panitia mengimbau kepada para alumni untuk memilih kepengurusan alumni IMC. Dalam hal ini, berdasarkan keputusan bersama, terpilihlah Kak Rio W sebagai Ketua, Kak Faizon Irsyadi sebagai Sekretaris, Bendahara Kak Haryanto, serta Ustadzah Yulisniawati sebagai Koordinator Bidang Dana dan Usaha. Setelah Kak Rio terpilih menjadi ketua alumni IMC FISIP UNIB, maka terdapat seremonial pemotongan tumpeng dan penandatangan MOU donatur tetap dari alumni untuk LDF IMC. MashaAllah, sungguh haru haru melihatnya. Selain itu, juga dilakukan pelelangan hasil karya anggota IMC, yang kemudian dilelang kepada para alumni. Dari hasil lelang barang-barang hasil karya IMC tersebut, didapatkan nominal uang Rp.1.000.000,-, alhamdulillah.
Pemotongan Tumpeng oleh Kak Rio W selaku ketua alumni IMC terpilih
beserta para pengurus lainnya yang terpilih.

Surat MOU bagi para anggota alumni IMC Fisip UNIB

Tidak lupa juga, saat detik-detik akhir acara, kami menyempatkan diri berfoto bersama. Dari beragam angkatan, kami berfoto, baik yang sudah lulus ataupun yang masih harus berjuang meneruskan perjuangan di IMC. Tidak lupa juga, saat pulang, kami diberikan hadiah souvenir mug cantik oleh adik-adik kami di IMC. Selain itu, kami juga diberikan kertas kecil yang kemudian akan diisi pesan dan kesan kami pada IMC, yang kemudian ditempelkan di pohon berkah yang berada di luar gedung tempat acara berlangsung.
Sungguh sebuah agenda yang menyenangkan.
Foto alumni IMC dari jurusan Ilmu Komunikasi (beragam angkatan)

Testimoni Acara Temu alumni dari para alumni ^_^

Foto Bersama alumni

Souvenir Mug Cantik untuk Masing-Masing Alumni

Selfie Akhwat IMC

Memang benar, jika Allah sudah menautkan hati kita, apapun yang terjadi, kita akan tetap kembali ke rumah yang sama.

                                                                                                                Bengkulu, 21 Desember 2017




Menjadi Pengajar Muda, Sebuah Pilihan dan Tantangan.

Kamis, 14 Desember 2017
Walaupun banyak cerita di luar sana, namun cerita tentang sebuah kelas tetap menjadi cerita favorit saya hingga saat ini.

Sumber Gambar http://hi.fisipol.ugm.ac.id


Saya adalah seorang pengajar muda, lebih tepatnya orang yang berprofesi mengajarkan beberapa hal di sebuah Universitas. Jujur saja, untuk saat ini, saya lebih senang dikenal sebagai seorang pengajar dibandingkan seorang dosen. Karena menurut saya, jam terbang mengajar saya belum terlalu banyak dan belum terlalu berpengalaman. Hal ini dikarenakan saya baru saja menjadi pengajar sejak awal September 2016 lalu.

Menjadi seorang pengajar adalah pilihan yang saya pilih. Ya, pilihan yang bukan karena pilihan orang lain atau pun dikarenakan karena ajakan dari teman atau sahabat. Saya sangat ingin menjadi pengajar sejak awal saya masuk kuliah S1 (Saya adalah salah satu alumni Fisipol UNIB jurusan Ilmu Komunikasi). Walaupun nota bene saya adalah mahasiswa Fisipol saat itu, tetapi saya sangat ingin sekali menjadi pengajar.

Berdasarkan hal tersebut, sejak awal saya sudah meniatkan untuk melanjutkan studi lanjut usai lulus S1 nanti. Hal ini dikarenakan, untuk menjadi seorang pengajar dari jurusan FISIPOL tidak memungkinkan, dikarenakan khusus untuk sarjana S1, jika ingin mengajar, maka haruslah berijazah dari Fakultas Pendidikan bukan Fisipol.

Pada awalnya, saya dulu pernah memiih jurusan FKIP Bahasa Inggris di pilahan pertama saya saat masuk Universitas, sedangkan ilmu komunikasi Fisipol adalah pilihan kedua saya. Namun, dikarenakan grade FKIP Bahasa Inggris saat itu tergolong tinggi, maka saya lulus di jurusan Ilmu Komunikasi. Saya adalah salah satu mahasiswa yang masuk ke Universitas tanpa jalur tes pada saat itu (hanya mengandalkan nilai raport atau disebut sebagai jalur PPA. Penelusuran Potensi Akademik). Karena pengumuman Universitas menyatakan bahwa saya telah dinyatakan lulus di jurusan Ilmu Komunikasi, maka saya berpikir bahwa tidak masalah melanjutkan studi di jurusan ini, karena bidang komunikasi juga merupakan bidang yang menarik untuk dipelajari. Selain itu, jujur saja, saya waktu itu agak enggan untuk mengikuti tes bersama.

Perjalanan kuliah dimulai, singkat cerita saya lulus tepat 4 tahun. Setelah lulus saya berpikir untuk melamar pekerjaan. Namun, tak satu pun lamaran tersebut menerima saya. Saya pun berulang kali mengajukan ‘proposal’ kepada orang tua untuk melanjutkan studi, tetapi orang tua menyatakan agar saya bekerja dahulu baru melanjutkan studi. Keinginan melanjutkan studi itulah, yang mungkin menjadikan saya kurang serius dalam mengikuti setiap tes saat seleksi pencarian kerja.

Alih-alih melamar sebagai seorang wartawan atau misalkan Humas di suatu perusahaan, saya malah memilih untuk menjadi pengajar privat dan menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar yang ada di Kota Bengkulu.  Alhasil, akhirnya saya pun bekerja sebagai pengajar privat dan bimbel. Ya, memang, secara finansial gaji saya tidak seberapa, tetapi entahlah, di dalam hati saya, saya merasa bahagia ketika melihat murid-murid saya dengan tingkah laku mereka masing-masing saat berada di kelas.

Setelah satu tahun menjadi pengajar les, di tahun kedua pasca lulus, saya memutuskan untuk melanjutkan studi. Saya pernah mengikuti seleksi penerimaan beasiswa pascasarjana, namun dinyatakan tidak lulus. Namun, karena memang sedari awal saya sudah sangat berniat untuk melanjutkan studi, maka kedua orang tua saya pun akhirnya mengizinkan saya untuk melanjutkan studi ke Universitas Pilihan saya dengan biaya mandiri.

Dalam perjalanan menempuh S2, banyak hal yang akan saya ceritakan nantinya, seperti bagaimana tips dan trik saat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru untuk pascasarjana, kemudian bagaimana caranya agar semangat mengerjakan tesis dan bagaimana caranya agar tidak hanya menjadi mahasiswa saja saat menjadi mahasiswa pasca. Namun untuk kali ini, justru saya akan lebih memfokuskan topik tulisan ini, pada perjalanan saya menjadi pengajar, pasca menjadi seorang Master di jurusan ilmu komunikasi.

Foto Wisuda PascaSarjana UGM, Juli 2016

==========================================================
Tidak jauh dari hari kelulusan saya di Yogyakarta, saya kemudian didaulat untuk mengajar di salah satu Universitas Swasta yang ada di Kota Bengkulu. Setelah itu berselang satu semester, saya dipercaya sebagai salah satu tim pengajar di Universitas Terbuka (UT) Bengkulu. UT merupakan salah satu institusi Negeri milik Pemerintah. Di UT Bengkulu, proses belajar mengajar berlangsung di kelas salah satu SMA/SMP Negeri, sehingga proses belajar mengajar hanya berlangsung dari hari Sabtu-Minggu. 

Lambang UT . Sumber : google.co.id


Di UT, mahasiswa berasal dari beragam kalangan, tergantung dari Pokjar/Wilayah belajar. Saat saya ditempatkan di Lebong (salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu), rata-rata mahasiswa UT Lebong untuk jurusan ilmu komunikasi adalah anak-anak yang memang baru lulus dari SMA atau maksimal dua tahun telah lulus  dari SMA. Sementara di saat saya ditempatkan di Bengkulu Tengah (Benteng, merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu), ada satu kelas yang berisikan mahasiswa rata-rata berusia di atas 40 tahun (para pegawai BKKBN).

Suasana mengajar, tentunya dipengaruhi juga oleh peserta ajar. Hal inilah yang saya rasakan ketika saya mengajar mahasiswa yang usianya jauh di atas saya. Sesungguhnya, bukan kali pertama saya mengajar mahasiswa yang umurnya jauh di atas saya, namun saat mengajar di Benteng jumlah kuota mahasiswanya lebih banyak dari yang sebelumnya. Biasanya, saya mengajar kelas karyawan di Universitas Swasta di Bengkulu, mahasiswanya hanya berjumlah 7 orang, di UT Benteng ini saya mengajar mahasiswa karyawan berjumlah 15 orang. Kebetulan, saat itu saya memegang kelas penulisan karya ilmiah. Rata-rata mahasiswa saya usianya sama dengan Ibu saya, mereka adalah para pegawai BKKBN yang diwajibkan untuk menempuh kuliah S1.

Saat awal perkenalan,  tidak ada rasa canggung dalam diri saya, namun yang jadi persoalan adalah saya hanya berpikir keras, bagaimana agar Bapak/Ibu ini bisa lulus dari mata kuliah ini. Intinya, setelah menjalani masa perkuliahan selama 8 kali pertemuan (di UT, perkuliahan hanya berlangusng 2 bulan untuk satu semester), para mahasiswa ini telah mampu menuliskan satu kaya ilmiah sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing. Saya hanya terus memikirkan, metode apa yang akan saya gunakan untuk dapat membimbing mereka satu persatu.

Proses belajar mengajar pun berlangsung setiap minggunya. Setiap mengajar saya dengan tulus menjelaskan bagaimana pedoman penulisan secara ilmiah, penulisan kutipan dan daftar pustaka. Namun, ketika bimbingan, masih saja terdapat kesalahan yang sama. Terkadang, ada mahasiswa yang tidak paham menuliskan idenya di dalam latar belakang, selain itu, untuk pengutipan pun masih banyak yang belum benar. Hal ini terjadi hampir setiap minggu. Saya rasanya ingin menyerah, mengapa mereka sulit sekali paham? Namun, lagi-lagi saya tersadar, mereka bukan lagi anak-anak seperti kebanyakan mahasiswa lainnya. Ada tanggung jawab lain yang membuat konsentrasi mereka kurang fokus. Selain kuliah, mereka juga memiliki tanggung jawab lain, yakni mengurusi urusan pekerjaan dan rumah tangganya masing-masing. Selain itu, usia mereka pun tidak lagi muda.

Ada satu cerita menarik dari kelas ini. Ada satu orang mahasiswa saya yang saya rasa sangat bersemangat dalam menempuh perkuliahan. Usianya sudah lebih dari 50 tahun, tetapi jarak yang ia tempuh untuk bimbingan tidak menjadi masalah. Dengan menggunakan sepeda motor, beliau pergi ke rumah saya untuk bimbingan karya ilmiah, padahal jarak tempuh yang ditempuh cukup jauh dengan medan yang tidak biasa (dari Bengkulu Tengah ke Kota Bengkulu).

Walaupun dengan keragu-raguan pada saat perkuliahan (khawatir karya ilmiah para mahasiswa tersebut tidak selesai), namun akhirnya karya tulis mereka rampung sesuai dengan waktu yang ditentukan. Hari itu, di tanggal 15 Oktober 2017, kami menutup kelas dengan makan bersama.

Suasana Makan Bersama, di perkuliahan terakhir kelas Karya Ilmiah, UT Bengkulu Tengah.
Lokasi Belajar SMA N 1 Kembang Seri.

Ya, cerita tentang dunia pendidikan memang tidak akan pernah usai dan usang. Ada banyak isah dan hikmah yang dapat diambil dari beragam potret pendidikan, khususnya potret pendidikan di sekitar kita. Pendidikan bukanlah melulu soal nilai dan penghargaan, namun di balik itu, ada perjuangan keras dan beragam tantangan yang harus dijalani, baik itu dari para pengajarnya sendiri, maupun dari peserta didiknya sendiri.



                                                                                    Desember, 2017. RekamJejak YueAyuu

Kopi Gading Cempaka

Rabu, 06 Desember 2017
Karena kopi ini hadir membawa pesan, pesan tentang ketulusan hati, pesan tentang sebuah tradisi keluarga, yang kemudian menghasilkan minuman yang memiliki ciri khas yang luar biasa.

Berbicara mengenai kopi, tidak hanya sesederhana ‘menyeduh kopi di dalam cangkir’. Banyak filosofi yang kemudian hadir darinya. Saya sendiri memaknai kopi sebagai sesuatu hal yang pekat, serta tegas. Itulah hal yang ada di dalam pikiran saya saat pertama kali membayangkan kopi. Kepekatan dan ketegasan yang termaknai tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya. Tidak sesederhana itu. Kedua makna tersebut hadir  karena adanya proses perjalanan yang panjang. Hadir dari ketulusan tangan-tangan mahir, yang kemudian berakhir pada tuangan nikmat beraroma khas.
Foto by : KopiGadingCempaka

Kopi. Minuman ini hadir bagi setiap lapisan masyarakat. Baik itu dari kalangan proletar ataupun borjuis. Baik yang hadir di kaki lima, hingga hotel bintang lima. Membicarakan kopi, bisa saja berbicara tentang kesederhanaan dan ketekunan para petani kopi dalam menanam dan mengolah kopi itu sendiri, hingga berbicara mengenai bisnis yang menjanjikan dari tanaman ini.
        Kopi sendiri, hadir di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Tanaman kopi, pada awalnya dibawa oleh VOC pada akhir abad ke 16. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali menanam bibit kopi di sekitar Batavia (Jakarta), sampai ke daerah Sukabumi dan Bogor. Karena tingginya permintaan pasar, maka didirikanlah perkebunan kopi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi.
Foto by: KopiGadingCempaka
        Walaupun perkembangan perkebunan kopi menjadi salah satu penyebab kemajuan pekembangan infrastruktur, namun tak disangka, permasalahan serius juga pernah menimpa perkebunan kopi di Indonesia. Mendekati akhir abad ke 19, perkebunan kopi di wilayah Srilanka, Malaysia dan Indonesia terserang hama kopi yang cukup mematikan, sehingga meluluhlantakkan industri kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah Belanda kemudian mengimpor bibit kopi Liberica. Namun ternyata, solusi ini tidak sepenuhnya bisa mendatangkan titik terang, karena varietas kopi ini juga tidak tahan hama, sehingga menyebabkan penurunan produksi kopi. Sebagai solusi akhir, pemerintah kolonila Belanda kemudian menanam varietas kopi Robusta yang lebih kuat dan tahan terhadap hama, sehingga permasalahan hama bisa teratasi dengan baik. Hingga saat ini, kopi robusta menempati sekitar 90 persen produksi kopi nasional (Helmi dan Devvany, 2017).
        Berbicara mengenai kopi robusta, maka saya akan teringat akan kampung halaman Ayah saya, tepatnya di daerah Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Sebagai bahan informasi, saya adalah keturunan petani kopi, di mana Nenek, kakek dan sebagian besar keluarga Ayah saya merupakan petani kopi (walaupun Ayah saya bukan berprofesi sebagai petani kopi).
Pulang ke Kampung halaman Ayah, maka hal yang paling terekam di benak saya adalah wangi aroma khas tanaman kopi yang memenuhi sepanjang perjalanan menuju ke rumah Nenek. Apalagi perjalanan dilakukan seusai hujan, maka aroma tanaman kopi yang khas, akan menemani sepanjang perjalanan menuju ke sana. Hal ini sudah cukup menjadi salah satu alasan yang kemudian selalu membuat saya rindu untuk kembali ke rumah Nenek. ^_^
Kopi asli Bengkulu, Bukan sembarang Kopi
         Keunggulan kopi robusta asal Provinsi Bengkulu tentunya tidak diragukan lagi. Seperti dikutip dari laman bisnis.tempo.co, Kopi robusta asal Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu,  masuk dalam jajaran 15 kopi terbaik Indonesia. Kabar ini tersiar dalam ajang AEKI AICE Coffee Contest 2016 yang diselenggarakan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI).
Pict by: KopiGadingCempaka.
        Sebagai informasi tambahan, saat ini provinsi Bengkulu menempati posisi ketiga dari 5 daerah penghasil kopi  Bengkulu mampu menghasilkan 88.861 ton tiap tahun. Selain itu, Bengkulu merupakan daerah segi tiga emas penghasil Robusta terbesar ketiga di pulau Sumatera setelah Sumatera Selatan dan Lampung.
        Kendati komoditas kopi di daerah Bengkulu sangatlah besar dan telah mampu bersaing, namun perhatian dan apresiasi akan jenis tanaman ini masih sangat sedikit. Kebanyakan masyarakat hanya mengenalnya sebatas minuman keseharian, tidak lebih dari itu. Padahal, masih banyak hal  lain yang perlu diperhatikan. Karena membicarakan kopi, tentunya sekali lagi bukanlah hanya sekedar membicarakan cangkir dan kepekatan warnanya saja.
Pertemuan dengan Kopi Gading Cempaka
        Dari sekian banyak merk kopi yang berasal dari Bengkulu, secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan Kopi Gading Cempaka, dalam  suatu pertemuan. Di suatu petang yang mendung, namun romantis. Kopi Gading Cempaka hadir dengan rasa dan aroma yang khas.
        Mengapa romantis? Karena pertemuan saya dengan kopi ini, lagi-lagi mengingatkan saya pada asal-usul keluarga Ayah saya, tentang petani kopi, tentang kerja tulus petani kopi.
        Dari pertemuan tersebut, tersemat sebuah kutipan menarik yang saya temukan di balik kemasan bungkus Kopi ini yang menuliskan bahwa ‘kopi robusta boleh ada di mana-mana, tetapi soal kenikmatan rasa, kopi robusta Bengkulu berani beda. Buah kopi robusta kami, lahir dari proses panjang, tradisi perawatan yang sudah turun temurun.’
        Ya, tentunya kata ‘turun-temurunlah’, yang menjadikan suasana hati saya terbawa akan suatu memory, di mana keluarga besar Ayah saya sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi, yang juga dilaksanakan sejak dahulu kala, secara turun temurun.


Kopi Gading Cempaka, Hanya menjual Kopi Jenis Premium  
        Kopi Gading Cempaka bukanlah sembarang kopi. Kopi ini adalah kopi jenis premium, di mana kata premium berasal dari filosofi manivestasi kecantikan dan kecerdasan dari sosok Putri Gading Cempaka. Sehingga dapat dibayangkan, ketika meminum kopi ini ada rasa yang tak terlupakan. Dijamin tak kan mau berpaling.
        Kopi Gading Cempaka menyediakan dua produk utama baik berupa 'roasted beans' ataupun 'ground coffee beans' dengan harga yang cenderung terjangkau. Untuk harga Robusta Premium dibandrol dengan harga Rp. 30.000,-/ 200 gram, sedangkan arabika premium dibandrol dengan harga Rp 20.000,-/100 gram. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan, antara kopi robusta dan kopi arabika.

Sumber : Helmi dan Devvany. 2017.  Kajian Budaya Minum Kopi di Indonesia.


Tentunya, baik kopi jenis robusta maupun arabika, yang kualitasnya premium, ya hanya ada di Kopi Gading Cempaka! ^_^


Filosofi nama ‘Kopi Gading Cempaka’.
      Berbicara mengenai ciri khas kopi premium Kopi Gading Cempaka, maka tidak lengkap rasanya jika tidak membahas mengenai pa makna historis yang terkandung di balik nama tersebut. Maka kali ini, saya akan membahas tentang filosofi fi balik nama ‘Kopi Gading Cempaka.
 Berdasarkan penuturan dari salah satu pemilik Kopi Gading Cempaka, terdapat filosofi yang tidak biasa dari pemilihan nama kopi Gading Cempaka. Singkat cerita nama Gading Cempaka diambil dari nama Putri Bungsu Ratu Agung (Putri salah satu Raja Bengkulu) yang terkenal akan keantikan dan kecerdasannya.
Putri Gading Cempaka dipercaya sebagai leluhur dari kerajaan-kerajaan yang sempat muncul pasca Kerajaan Sungai Serut 'hancur'. Sehingga Putri Gading Cempaka dipercaya sebagai sosok yang memiliki aura kedamaian, penuh kasih, dan bijaksana.
Petani sekaligus 'toke' kopi di Desa Aur Gading (daerah penghasil Kopi ‘Gading Cempaka’, yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara) percaya, bahwa bahwa Putri Gading Cempaka adalah titisan 'malaikat' dan sumber kesuburan di tanah Aur Gading, kemudian dia mengembangkan usahanya dengan membuat kopi bubuk yang dijual pada para pedagang yang melintas di perkampungan menuju kota Curup. Aur Gading dahulu kala merupakan jalur perdagangan alternatif menuju kota Curup.
        Bukan hanya dijual untuk pedagang yang melintas perkampungan saja, pada perkembangannya juga dijual di pasar-pasar rakyat. Bahkan penjajah Belanda yang hidup di sana menyukai rajikan kopi bubuk karyanya. Berdasarkan penuturannya, kopi bubuk itu kemudian  diberi nama Kopi Gading Cempaka. Kopi yang membuat para penjajah ketagihan. Nikmatnya tergambar melalui kecantikan sosok putri bungsu titisan Majapahit anak dari Ratu Agung.
Pada saat masa kolonial, penjajah menyebut 'Kopi Gading Cempaka' sebagai kopi candu. Karena dengan meminum kopi ini dapat mematahkan halusinasi menjadi kegirangan dan sumber kekuatan serta kebahagiaan.
Bukan hanya penjajah, pedagang juga merasakan kecanduan pada kopi ini. Kopi hasil perkebunan rakyat Aur Gading. Dekatnya Aur Gading dan Curup melahirkan karakter kopi yang tidak jauh berbeda. Para 'toke' banyak yang datang dari Curup untuk membeli hasil pertanian tiap musim atau sebaliknya petani sendiri yang menjual ke daerah Curup.

                                                                             
       
        Nah, dari filosofi namanya saja sudah menarik, apalagi mencicipi kopinya secara langsung. Untuk itu, daripada terbawa suasana, hanya sekedar membayangkan rasa kopinya yang nikmat, maka sangat pas sekali jika langsung mencicipi saja, dengan memesan langsung pada kontak di bawah ini.

A. Online:
- WA 08117321511/ 081995850700
- Twitter @kopigadingID
- Fanpage Kopi Gading Cempaka
- IG @kopigadingcempaka
- www.kopigadingcempaka.com

B. COD di studio Radio B-One FM Kota Bengkulu- Jalan S. Parman No. 117 Padang Jati Ratu Samban Kota Bengkulu.

               
Sumber Referensi :
Helmi dan Devvany. 2017.  Kajian Budaya Minum Kopi di Indonesia.
Kopigadingcempaka.com