Karena kopi
ini hadir membawa pesan, pesan tentang ketulusan hati, pesan tentang sebuah
tradisi keluarga, yang kemudian menghasilkan minuman yang memiliki ciri khas
yang luar biasa.
Berbicara
mengenai kopi, tidak hanya sesederhana ‘menyeduh kopi di dalam cangkir’. Banyak
filosofi yang kemudian hadir darinya. Saya sendiri memaknai kopi sebagai
sesuatu hal yang pekat, serta tegas. Itulah hal yang ada di dalam pikiran saya
saat pertama kali membayangkan kopi. Kepekatan dan ketegasan yang termaknai
tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya. Tidak sesederhana itu. Kedua
makna tersebut hadir karena adanya
proses perjalanan yang panjang. Hadir dari ketulusan tangan-tangan mahir, yang
kemudian berakhir pada tuangan nikmat beraroma khas.
Foto by : KopiGadingCempaka |
Kopi. Minuman ini hadir bagi setiap
lapisan masyarakat. Baik itu dari kalangan proletar ataupun borjuis. Baik yang
hadir di kaki lima, hingga hotel bintang lima. Membicarakan kopi, bisa saja
berbicara tentang kesederhanaan dan ketekunan para petani kopi dalam menanam
dan mengolah kopi itu sendiri, hingga berbicara mengenai bisnis yang
menjanjikan dari tanaman ini.
Kopi sendiri, hadir di Indonesia sejak
zaman kolonial Belanda. Tanaman kopi, pada awalnya dibawa oleh VOC pada akhir
abad ke 16. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali menanam bibit kopi di
sekitar Batavia (Jakarta), sampai ke daerah Sukabumi dan Bogor. Karena
tingginya permintaan pasar, maka didirikanlah perkebunan kopi di Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi.
Foto by: KopiGadingCempaka
Walaupun perkembangan perkebunan kopi
menjadi salah satu penyebab kemajuan pekembangan infrastruktur, namun tak
disangka, permasalahan serius juga pernah menimpa perkebunan kopi di Indonesia.
Mendekati akhir abad ke 19, perkebunan kopi di wilayah Srilanka, Malaysia dan
Indonesia terserang hama kopi yang cukup mematikan, sehingga meluluhlantakkan
industri kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Untuk menangani permasalahan
ini, pemerintah Belanda kemudian mengimpor bibit kopi Liberica. Namun ternyata,
solusi ini tidak sepenuhnya bisa mendatangkan titik terang, karena varietas
kopi ini juga tidak tahan hama, sehingga menyebabkan penurunan produksi kopi.
Sebagai solusi akhir, pemerintah kolonila Belanda kemudian menanam varietas
kopi Robusta yang lebih kuat dan tahan terhadap hama, sehingga permasalahan
hama bisa teratasi dengan baik. Hingga saat ini, kopi robusta menempati sekitar
90 persen produksi kopi nasional (Helmi dan Devvany, 2017).
Berbicara mengenai kopi robusta, maka
saya akan teringat akan kampung halaman Ayah saya, tepatnya di daerah
Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Sebagai bahan informasi, saya adalah keturunan
petani kopi, di mana Nenek, kakek dan sebagian besar keluarga Ayah saya
merupakan petani kopi (walaupun Ayah saya bukan berprofesi sebagai petani
kopi).
Pulang
ke Kampung halaman Ayah, maka hal yang paling terekam di benak saya adalah
wangi aroma khas tanaman kopi yang memenuhi sepanjang perjalanan menuju ke
rumah Nenek. Apalagi perjalanan dilakukan seusai hujan, maka aroma tanaman kopi
yang khas, akan menemani sepanjang perjalanan menuju ke sana. Hal ini sudah
cukup menjadi salah satu alasan yang kemudian selalu membuat saya rindu untuk
kembali ke rumah Nenek. ^_^
Kopi asli Bengkulu, Bukan sembarang Kopi
Keunggulan
kopi robusta asal Provinsi Bengkulu tentunya tidak diragukan lagi. Seperti dikutip
dari laman bisnis.tempo.co, ‘Kopi robusta asal
Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, masuk dalam jajaran 15 kopi terbaik Indonesia.
Kabar ini tersiar dalam ajang AEKI AICE Coffee Contest 2016 yang
diselenggarakan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) dan Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI).’
Pict by: KopiGadingCempaka.
Sebagai informasi tambahan, saat ini provinsi Bengkulu
menempati posisi ketiga dari 5 daerah penghasil kopi Bengkulu mampu menghasilkan 88.861 ton
tiap tahun. Selain itu, Bengkulu merupakan daerah segi tiga emas penghasil
Robusta terbesar ketiga di pulau Sumatera setelah Sumatera Selatan dan Lampung.
Kendati komoditas kopi di daerah Bengkulu sangatlah besar dan
telah mampu bersaing, namun perhatian dan apresiasi akan jenis tanaman ini
masih sangat sedikit. Kebanyakan masyarakat hanya mengenalnya sebatas minuman
keseharian, tidak lebih dari itu. Padahal, masih banyak hal lain yang perlu diperhatikan. Karena
membicarakan kopi, tentunya sekali lagi bukanlah hanya sekedar membicarakan
cangkir dan kepekatan warnanya saja.
Pertemuan dengan Kopi Gading
Cempaka
Dari sekian banyak merk kopi yang berasal dari Bengkulu,
secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan Kopi Gading Cempaka, dalam suatu pertemuan. Di suatu petang yang
mendung, namun romantis. Kopi Gading Cempaka hadir dengan rasa dan aroma yang
khas.
Mengapa romantis? Karena pertemuan saya dengan kopi ini, lagi-lagi
mengingatkan saya pada asal-usul keluarga Ayah saya, tentang petani kopi,
tentang kerja tulus petani kopi.
Dari
pertemuan tersebut, tersemat sebuah kutipan menarik yang saya temukan di balik
kemasan bungkus Kopi ini yang menuliskan bahwa ‘kopi robusta boleh ada di mana-mana, tetapi soal kenikmatan rasa, kopi
robusta Bengkulu berani beda. Buah kopi robusta kami, lahir dari proses
panjang, tradisi perawatan yang sudah turun temurun.’
Ya, tentunya kata ‘turun-temurunlah’, yang menjadikan suasana
hati saya terbawa akan suatu memory, di mana keluarga besar Ayah saya sebagian
besar berprofesi sebagai petani kopi, yang juga dilaksanakan sejak dahulu kala,
secara turun temurun.
Kopi Gading Cempaka, Hanya
menjual Kopi Jenis Premium
Kopi
Gading Cempaka bukanlah sembarang kopi. Kopi ini adalah kopi jenis premium, di
mana kata premium berasal dari filosofi manivestasi kecantikan dan kecerdasan
dari sosok Putri Gading Cempaka. Sehingga dapat dibayangkan, ketika meminum
kopi ini ada rasa yang tak terlupakan. Dijamin tak kan mau berpaling.
Kopi Gading Cempaka menyediakan dua produk utama baik
berupa 'roasted beans' ataupun 'ground coffee beans' dengan harga yang
cenderung terjangkau. Untuk harga Robusta Premium dibandrol dengan harga Rp.
30.000,-/ 200 gram, sedangkan arabika premium dibandrol dengan harga Rp
20.000,-/100 gram. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan, antara kopi
robusta dan kopi arabika.
Sumber : Helmi dan Devvany. 2017. Kajian
Budaya Minum Kopi di Indonesia.
Tentunya, baik kopi jenis robusta maupun arabika, yang
kualitasnya premium, ya hanya ada di Kopi Gading Cempaka! ^_^
Filosofi nama ‘Kopi Gading
Cempaka’.
Berbicara mengenai ciri khas
kopi premium Kopi Gading Cempaka, maka tidak lengkap rasanya jika tidak
membahas mengenai pa makna historis yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka kali ini, saya akan membahas tentang filosofi fi balik nama ‘Kopi Gading Cempaka.
Berdasarkan
penuturan dari salah satu pemilik Kopi Gading Cempaka, terdapat filosofi yang
tidak biasa dari pemilihan nama kopi Gading Cempaka. Singkat cerita nama Gading
Cempaka diambil dari nama Putri Bungsu Ratu Agung (Putri salah satu Raja Bengkulu)
yang terkenal akan keantikan dan kecerdasannya.
Putri
Gading Cempaka dipercaya sebagai leluhur dari kerajaan-kerajaan yang sempat
muncul pasca Kerajaan Sungai Serut 'hancur'. Sehingga Putri Gading Cempaka
dipercaya sebagai sosok yang memiliki aura kedamaian, penuh kasih, dan
bijaksana.
Petani
sekaligus 'toke' kopi di Desa Aur Gading (daerah penghasil Kopi ‘Gading
Cempaka’, yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara) percaya, bahwa bahwa Putri
Gading Cempaka adalah titisan 'malaikat' dan sumber kesuburan di tanah Aur
Gading, kemudian dia mengembangkan usahanya dengan membuat kopi bubuk yang
dijual pada para pedagang yang melintas di perkampungan menuju kota Curup. Aur
Gading dahulu kala merupakan jalur perdagangan alternatif menuju kota Curup.
Bukan hanya dijual untuk pedagang yang
melintas perkampungan saja, pada perkembangannya juga dijual di pasar-pasar
rakyat. Bahkan penjajah Belanda yang hidup di sana menyukai rajikan kopi bubuk
karyanya. Berdasarkan penuturannya, kopi bubuk itu kemudian diberi nama Kopi Gading Cempaka. Kopi yang
membuat para penjajah ketagihan. Nikmatnya tergambar melalui kecantikan sosok
putri bungsu titisan Majapahit anak dari Ratu Agung.
Pada
saat masa kolonial, penjajah menyebut 'Kopi Gading Cempaka' sebagai kopi candu.
Karena dengan meminum kopi ini dapat mematahkan halusinasi menjadi kegirangan
dan sumber kekuatan serta kebahagiaan.
Bukan hanya penjajah, pedagang
juga merasakan kecanduan pada kopi ini. Kopi hasil perkebunan rakyat Aur
Gading. Dekatnya Aur Gading dan Curup melahirkan karakter kopi yang tidak jauh
berbeda. Para 'toke' banyak yang datang dari Curup untuk membeli hasil
pertanian tiap musim atau sebaliknya petani sendiri yang menjual ke daerah
Curup.
Nah, dari filosofi namanya saja sudah
menarik, apalagi mencicipi kopinya secara langsung. Untuk itu, daripada terbawa
suasana, hanya sekedar membayangkan rasa kopinya yang nikmat, maka sangat pas
sekali jika langsung mencicipi saja, dengan memesan langsung pada kontak di
bawah ini.
A. Online:
- WA 08117321511/
081995850700
- Twitter
@kopigadingID
- Fanpage Kopi Gading
Cempaka
- IG
@kopigadingcempaka
-
www.kopigadingcempaka.com
B. COD di studio
Radio B-One FM Kota Bengkulu- Jalan S. Parman No. 117 Padang Jati Ratu Samban
Kota Bengkulu.
Sumber Referensi :
Helmi dan Devvany. 2017. Kajian
Budaya Minum Kopi di Indonesia.
Kopigadingcempaka.com
Post Comment
Posting Komentar