Top Social

Kopi Gading Cempaka

Rabu, 06 Desember 2017
Karena kopi ini hadir membawa pesan, pesan tentang ketulusan hati, pesan tentang sebuah tradisi keluarga, yang kemudian menghasilkan minuman yang memiliki ciri khas yang luar biasa.

Berbicara mengenai kopi, tidak hanya sesederhana ‘menyeduh kopi di dalam cangkir’. Banyak filosofi yang kemudian hadir darinya. Saya sendiri memaknai kopi sebagai sesuatu hal yang pekat, serta tegas. Itulah hal yang ada di dalam pikiran saya saat pertama kali membayangkan kopi. Kepekatan dan ketegasan yang termaknai tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya. Tidak sesederhana itu. Kedua makna tersebut hadir  karena adanya proses perjalanan yang panjang. Hadir dari ketulusan tangan-tangan mahir, yang kemudian berakhir pada tuangan nikmat beraroma khas.
Foto by : KopiGadingCempaka

Kopi. Minuman ini hadir bagi setiap lapisan masyarakat. Baik itu dari kalangan proletar ataupun borjuis. Baik yang hadir di kaki lima, hingga hotel bintang lima. Membicarakan kopi, bisa saja berbicara tentang kesederhanaan dan ketekunan para petani kopi dalam menanam dan mengolah kopi itu sendiri, hingga berbicara mengenai bisnis yang menjanjikan dari tanaman ini.
        Kopi sendiri, hadir di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Tanaman kopi, pada awalnya dibawa oleh VOC pada akhir abad ke 16. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali menanam bibit kopi di sekitar Batavia (Jakarta), sampai ke daerah Sukabumi dan Bogor. Karena tingginya permintaan pasar, maka didirikanlah perkebunan kopi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi.
Foto by: KopiGadingCempaka
        Walaupun perkembangan perkebunan kopi menjadi salah satu penyebab kemajuan pekembangan infrastruktur, namun tak disangka, permasalahan serius juga pernah menimpa perkebunan kopi di Indonesia. Mendekati akhir abad ke 19, perkebunan kopi di wilayah Srilanka, Malaysia dan Indonesia terserang hama kopi yang cukup mematikan, sehingga meluluhlantakkan industri kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah Belanda kemudian mengimpor bibit kopi Liberica. Namun ternyata, solusi ini tidak sepenuhnya bisa mendatangkan titik terang, karena varietas kopi ini juga tidak tahan hama, sehingga menyebabkan penurunan produksi kopi. Sebagai solusi akhir, pemerintah kolonila Belanda kemudian menanam varietas kopi Robusta yang lebih kuat dan tahan terhadap hama, sehingga permasalahan hama bisa teratasi dengan baik. Hingga saat ini, kopi robusta menempati sekitar 90 persen produksi kopi nasional (Helmi dan Devvany, 2017).
        Berbicara mengenai kopi robusta, maka saya akan teringat akan kampung halaman Ayah saya, tepatnya di daerah Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Sebagai bahan informasi, saya adalah keturunan petani kopi, di mana Nenek, kakek dan sebagian besar keluarga Ayah saya merupakan petani kopi (walaupun Ayah saya bukan berprofesi sebagai petani kopi).
Pulang ke Kampung halaman Ayah, maka hal yang paling terekam di benak saya adalah wangi aroma khas tanaman kopi yang memenuhi sepanjang perjalanan menuju ke rumah Nenek. Apalagi perjalanan dilakukan seusai hujan, maka aroma tanaman kopi yang khas, akan menemani sepanjang perjalanan menuju ke sana. Hal ini sudah cukup menjadi salah satu alasan yang kemudian selalu membuat saya rindu untuk kembali ke rumah Nenek. ^_^
Kopi asli Bengkulu, Bukan sembarang Kopi
         Keunggulan kopi robusta asal Provinsi Bengkulu tentunya tidak diragukan lagi. Seperti dikutip dari laman bisnis.tempo.co, Kopi robusta asal Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu,  masuk dalam jajaran 15 kopi terbaik Indonesia. Kabar ini tersiar dalam ajang AEKI AICE Coffee Contest 2016 yang diselenggarakan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI).
Pict by: KopiGadingCempaka.
        Sebagai informasi tambahan, saat ini provinsi Bengkulu menempati posisi ketiga dari 5 daerah penghasil kopi  Bengkulu mampu menghasilkan 88.861 ton tiap tahun. Selain itu, Bengkulu merupakan daerah segi tiga emas penghasil Robusta terbesar ketiga di pulau Sumatera setelah Sumatera Selatan dan Lampung.
        Kendati komoditas kopi di daerah Bengkulu sangatlah besar dan telah mampu bersaing, namun perhatian dan apresiasi akan jenis tanaman ini masih sangat sedikit. Kebanyakan masyarakat hanya mengenalnya sebatas minuman keseharian, tidak lebih dari itu. Padahal, masih banyak hal  lain yang perlu diperhatikan. Karena membicarakan kopi, tentunya sekali lagi bukanlah hanya sekedar membicarakan cangkir dan kepekatan warnanya saja.
Pertemuan dengan Kopi Gading Cempaka
        Dari sekian banyak merk kopi yang berasal dari Bengkulu, secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan Kopi Gading Cempaka, dalam  suatu pertemuan. Di suatu petang yang mendung, namun romantis. Kopi Gading Cempaka hadir dengan rasa dan aroma yang khas.
        Mengapa romantis? Karena pertemuan saya dengan kopi ini, lagi-lagi mengingatkan saya pada asal-usul keluarga Ayah saya, tentang petani kopi, tentang kerja tulus petani kopi.
        Dari pertemuan tersebut, tersemat sebuah kutipan menarik yang saya temukan di balik kemasan bungkus Kopi ini yang menuliskan bahwa ‘kopi robusta boleh ada di mana-mana, tetapi soal kenikmatan rasa, kopi robusta Bengkulu berani beda. Buah kopi robusta kami, lahir dari proses panjang, tradisi perawatan yang sudah turun temurun.’
        Ya, tentunya kata ‘turun-temurunlah’, yang menjadikan suasana hati saya terbawa akan suatu memory, di mana keluarga besar Ayah saya sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi, yang juga dilaksanakan sejak dahulu kala, secara turun temurun.


Kopi Gading Cempaka, Hanya menjual Kopi Jenis Premium  
        Kopi Gading Cempaka bukanlah sembarang kopi. Kopi ini adalah kopi jenis premium, di mana kata premium berasal dari filosofi manivestasi kecantikan dan kecerdasan dari sosok Putri Gading Cempaka. Sehingga dapat dibayangkan, ketika meminum kopi ini ada rasa yang tak terlupakan. Dijamin tak kan mau berpaling.
        Kopi Gading Cempaka menyediakan dua produk utama baik berupa 'roasted beans' ataupun 'ground coffee beans' dengan harga yang cenderung terjangkau. Untuk harga Robusta Premium dibandrol dengan harga Rp. 30.000,-/ 200 gram, sedangkan arabika premium dibandrol dengan harga Rp 20.000,-/100 gram. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan, antara kopi robusta dan kopi arabika.

Sumber : Helmi dan Devvany. 2017.  Kajian Budaya Minum Kopi di Indonesia.


Tentunya, baik kopi jenis robusta maupun arabika, yang kualitasnya premium, ya hanya ada di Kopi Gading Cempaka! ^_^


Filosofi nama ‘Kopi Gading Cempaka’.
      Berbicara mengenai ciri khas kopi premium Kopi Gading Cempaka, maka tidak lengkap rasanya jika tidak membahas mengenai pa makna historis yang terkandung di balik nama tersebut. Maka kali ini, saya akan membahas tentang filosofi fi balik nama ‘Kopi Gading Cempaka.
 Berdasarkan penuturan dari salah satu pemilik Kopi Gading Cempaka, terdapat filosofi yang tidak biasa dari pemilihan nama kopi Gading Cempaka. Singkat cerita nama Gading Cempaka diambil dari nama Putri Bungsu Ratu Agung (Putri salah satu Raja Bengkulu) yang terkenal akan keantikan dan kecerdasannya.
Putri Gading Cempaka dipercaya sebagai leluhur dari kerajaan-kerajaan yang sempat muncul pasca Kerajaan Sungai Serut 'hancur'. Sehingga Putri Gading Cempaka dipercaya sebagai sosok yang memiliki aura kedamaian, penuh kasih, dan bijaksana.
Petani sekaligus 'toke' kopi di Desa Aur Gading (daerah penghasil Kopi ‘Gading Cempaka’, yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara) percaya, bahwa bahwa Putri Gading Cempaka adalah titisan 'malaikat' dan sumber kesuburan di tanah Aur Gading, kemudian dia mengembangkan usahanya dengan membuat kopi bubuk yang dijual pada para pedagang yang melintas di perkampungan menuju kota Curup. Aur Gading dahulu kala merupakan jalur perdagangan alternatif menuju kota Curup.
        Bukan hanya dijual untuk pedagang yang melintas perkampungan saja, pada perkembangannya juga dijual di pasar-pasar rakyat. Bahkan penjajah Belanda yang hidup di sana menyukai rajikan kopi bubuk karyanya. Berdasarkan penuturannya, kopi bubuk itu kemudian  diberi nama Kopi Gading Cempaka. Kopi yang membuat para penjajah ketagihan. Nikmatnya tergambar melalui kecantikan sosok putri bungsu titisan Majapahit anak dari Ratu Agung.
Pada saat masa kolonial, penjajah menyebut 'Kopi Gading Cempaka' sebagai kopi candu. Karena dengan meminum kopi ini dapat mematahkan halusinasi menjadi kegirangan dan sumber kekuatan serta kebahagiaan.
Bukan hanya penjajah, pedagang juga merasakan kecanduan pada kopi ini. Kopi hasil perkebunan rakyat Aur Gading. Dekatnya Aur Gading dan Curup melahirkan karakter kopi yang tidak jauh berbeda. Para 'toke' banyak yang datang dari Curup untuk membeli hasil pertanian tiap musim atau sebaliknya petani sendiri yang menjual ke daerah Curup.

                                                                             
       
        Nah, dari filosofi namanya saja sudah menarik, apalagi mencicipi kopinya secara langsung. Untuk itu, daripada terbawa suasana, hanya sekedar membayangkan rasa kopinya yang nikmat, maka sangat pas sekali jika langsung mencicipi saja, dengan memesan langsung pada kontak di bawah ini.

A. Online:
- WA 08117321511/ 081995850700
- Twitter @kopigadingID
- Fanpage Kopi Gading Cempaka
- IG @kopigadingcempaka
- www.kopigadingcempaka.com

B. COD di studio Radio B-One FM Kota Bengkulu- Jalan S. Parman No. 117 Padang Jati Ratu Samban Kota Bengkulu.

               
Sumber Referensi :
Helmi dan Devvany. 2017.  Kajian Budaya Minum Kopi di Indonesia.
Kopigadingcempaka.com






Post Comment
Posting Komentar