Top Social

Menjadi Ibu adalah Hikmah

Kamis, 26 Agustus 2021

                      

            Menjadi ibu,anugerah terindah dari Nya. Menjadi ibu tak serta merta harus menjadi ibu sempurna. Menjadi ibu adalah proses, proses yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan. Menjadi ibu sungguh tak mudah, tapi akan kau temui cahaya hikmah di dalamnya.

 

Ayya saat masih berusia 2 minggu.

            Alhamdulillah sudah hampir 3 tahun saya menjadi seorang ibu. Ibu dari 1 anak perempuan yang saya beri nama Karima Diyah Tsurayya atau akrab saya panggil Ayya. Tentu banyak sekali cerita dan hikmah yang menghiasi keseharian saya.

            Ada cerita gembira dan ada  juga cerita suka duka di dalamnya. Terlepas dari itu semua, saya merasa bahagia, saya merasa bersyukur bisa menjadi seorang ibu.

           

Hijrah dan Resign dari Pekerjaan.

            Sebelum menikah saya adalah Dosen Luar Biasa (DLB) atau Dosen Honorer di 3 Universitas di Provinsi Bengkulu. Saya mengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Terbuka dan juga IAIN Bengkulu. Walau saya hanyalah Dosen Luar Biasa, tapi alhamdulillah, saya sudah mengajar lebih dari seratus mahasiswa, dengan rentang usia yang juga beragam. Saya pernah mengajar Bapak Polisi yang berumur sekitar 50 tahunan, para pegawai BKKBN yang hampir seusia ayah saya dan juga Polisi berpangkat muda yang baru saja lulus Akpol, alhamdulillah saya diberi kesempatan mengajar mereka di program studi Ilmu komunikasi.

            Saya juga pernah mengajar di Lebong (menempuh 4 jam perjalanan dari Kota Bengkulu) dan juga Bengkulu Tengah. Alhamdulillah semua itu saya lalui 1,5 tahun pascalulus dari UGM. Memang saya sangat menyukai dunia pendidikan, terkhusus kegiatan belajar mengajar. Bagi saya mengajar adalah proses healing bagi saya pribadi. Ketika menyampaikan materi ataupun berdiskusi, saya terkadang tertawa kecil di dalam hati, ketika melihat tingkat polah anak didik saya. Ada yang sok tahu,ada yang selalu ingin bicara, ada yang memang betul-betul pintar, ada juga yang pintar tetapi memilih untuk diam saja. Semua itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya.

            Menginjak tahun kedua saya mengajar, saya dilamar dengan seseorang  (seorang dosen juga dari Tanah Sulawesi, hanya saja berdomisili di Jakarta). Sejak memutuskan menikah, maka saya hijrah ke DKI Jakarta dan benar-benar berhenti dari kegiatan saya yakni dosen.

            Tentu saja, ini adalah keputusan yang berat, karena saat itu kondisi saya akan diajukan menjadi dosen kontrak dan mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Tentunya hal ini adalah hal yang amat saya nanti sejak dulu sebagai pengajar. Hal ini juga bukan janji kosong, karena kebetulan dosen kontrak sebelumnya yang mengisi jabatan sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Bengkulu lulus CPNS, sehingga 1 kursi dosen kontrak (yang nantinya akan berproses menjadi dosen tetap yayasan) kosong. Ini merupakan kartu joker bagi saya, seorang dosen komunikasi yang memang ingin berkarir serius menjadi dosen. Tapi apa mau dikata, saya malah memilih Jakarta dan meninggalkan impian saya menjadi dosen tetap di Bengkulu. Toh menurut saya, karir saya nanti juga bisa dilanjutkan di DKI.

 

Kehidupan Awal di Jakarta

    

Salah Satu Sudut Jakarta (Mall Central Park, Jakarta Barat)

            Akhir Januari 2018, chapter baru hidup saya dimulai di Jakarta, di salah satu rumah kontrakan di Jalan KH.Djunaedi Jakarta Barat. Saya benar-benar bukan lagi menjadi seorang dosen, keseharian saya berubah. Bangun pagi saya harus memasak, menyapu rumah, mencuci baju dan juga membereskan rumah. Tiba sore hari saya kembali menyiapkan makan malam dan juga membereskan rumah, begitu saja setiap hari.

            Belum lagi circle pertemanan saya yang tiba-tiba mengecil. Tadinya di Kota Bengkulu saya memiliki banyak teman. Sementara di Jakarta, teman saya hanyalah suami dan tetangga kontrakan. Terkadang saya benar-benar merasa bosan, kadang saya menangis sendirian di dalam kontrakan sambil mengeluh dalam hati, “Coba dulu saya tetap mengajar saja.” Keseharian saya yang begitu-begitu saja, membuat saya merasa sensitif, saya sering sekali marah-marah tanpa sebab pada suami. Ya, suami saya bekerja dari jam 9 atau jam 10 pagi hingga malam pukul 9.30 wib malam baru pulang. Suami seringkali pulang ke rumah sekitar setengah jam untuk makan siang saja, kemudian pergi lagi ke kantor. Rasa-rasanya saya hampir depresi, tapi kesemua itu saya lalui, pokoknya saya harus kuat, saya pasti bisa. Saya pun mengalihkan kesendirian saya dengan memasak beragam menu, semuanya otodidak, dengan melihat resep di internet atau youtube.

            Bulan kedua kami menikah. Saya merasa aneh, mengapa saya haid hanya 1 hari kemudian berhenti? Saya merasa juga di bagian pinggul saya amat terasa sakit. Saya berusaha mencari info dari teman-teman terdekat saya yang sudah menikah. Mereka menyarankan saya agar membeli testpack. Anjuran itu saya ikuti, dua testpack saya gunakan saat baru bangun tidur di pagi hari,dan ternyata memang dua garis, hanya saja garis satunya masih buram. Karena masih penasaran, akhirnya saya berinisiatif pergi ke dokter kandungan di RSAB Harapan Kita, Jakarta Barat. Setelah diperiksa, saya dinyatakan positif hamil oleh dokter kandungan. Alhamdulillah, antara perasaan senang dan takut, karena jujur saja saya merasa belum siap jadi ibu di waktu itu.

 

Kondisi Hamil

            Saat hamil, saya tidak mengalami banyak kendala, hanya saja calon bayi saya selalu mengalami kekurangan berat badan. Saya pun dianjurkan oleh dokter untuk banyak mengonsumsi es krim, alpukat dan juga meminum Kental Manis 1 gelas tinggi. Belum lagi HB saya sering rendah, sehingga saya harus meminum jus buah bit dan juga mengkonsumsi banyak daging merah (daging sapi). Kondisi ini membuat BB saya naik 16 Kg di akhir masa kehamilan, namun masih saja BB bayi di bawah normal.

            Tentu saja saya sedih, kenapa susah sekali naik BB badan calon anak saya ini? Kenapa harus saya yang banyak makan, sementara BB bayi tidak juga naik? (Ya tetap, saya masih saja belum banyak bersyukur dan mengeluh saat itu). Jujur saya belum sebijak sekarang saat itu. Entahlah, mungkin karena saya masih merasa sedih dengan kondisi saya saat itu, “kok saya malah jadi ibu rumah tangga?, ngapain sekolah tinggi?,”.

            Oh ya, walau saya berhenti menjadi dosen tatap muka, tapi rezeki datang pada saya, dengan masih dipercayanya saya menjadi dosen (tutor online Universitas Terbuka). Tapi saya masih saja ogah-ogahan bekerja, karena menurut saya saat itu, lebih keren menjadi dosen tatap muka daripada hanya menjadi tutor online. Sungguh tak pandai bersyukur saya saat itu.

    Menginjak usia kehamilan 8 bulan, aku pun kembali ke Bengkulu untuk persiapan melahirkan. Karena memang tak ada keluarga dekat di Jakarta, maka aku memutuskan untuk melahirkan saja di Bengkulu, karena ada Bapak dan Mama di rumah.

 

Kehadiran Ayya

            Bengkulu, 7 Oktober 2018, Ayya lahir dengan BBLR (Berat Bayi Lebih Rendah) dengan cara operasi caesar (SC). Ayya lahir dua minggu lebih cepat dari HPL yang ditetapkan Dokter. Saat menginjak usia kehamilan 9 bulan, sudah dua dokter kandungan yang menyarankan untuk segera operasi caesar, karena berat badan bayi di bawah normal, nutrisi dari ibu sudah tak tersalurkan lagi saat itu. Jika terus menunggu hingga HPL dan ingin lahiran normal, maka akan berbahaya bagi kondisi bayi.



            Saya masih tak percaya, saya pergi ke dokter ketiga, saat itu ke Rumah Sakit UmmiKOta Bengkulu, saya pergi ke dokter Deddy, SPOg atas dasar rekomendasi kakak saya. Di dokter tersebut saya memang langsung disarankan untuk operasi keesokan harinya, karena plasenta sudah kering, sementara berat badan bayi di bawah normal. Dokter mengatakan jika masih ingin menunggu lahiran normal, maka akan berbahaya bagi janin. Tentu saja saya ketakutan dan khawatir. Saya pun menelepon suami saya yang ada di Jakarta, saya bilang saya takut, saya khawatir kalau nanti janin saya kenapa-kenapa. Akhirnya kami memutuskan agar saya dioperasi lusa, tepat di hari Minggu, tanggal 7 Oktober 2018 di RSU Ummi Kota Bengkulu.

            Malam sebelum dioperasi keesokan harinya saya tak bisa tidur. Saya membayangkan apakah saya masih ada keesokan harinya atau kah nanti akan meninggal?. Apakah operasinya lancar atau tidak?. Tiba keesokan harinya, saya pun menjalani operasi, alhamdulillh lancar, kurang dari 1 jam saya sudah keluar dari ruang operasi dan suda resmi menjadi seorang ibu dari seorang bayi perempuan.

            Alhamdulillah saya bersyukur, amat bersyukur atas kelahiran Ayya. Namun ternyata, cobaan belum selesai. Keesokan harinya Ayya harus masuk ke dalam incubator, karena BB nya yang kurang dari batas sewajarnya. Akhirnya saya pulang ke rumah, tanpa membawa bayi. Ayya tetap di RS sementara saya istirahat di rumah.

 

Bersama Ayya Kembali Ke Jakarta

            Usia 2,5 bulan, saya memutuskan membawa Ayya kembali ke Jakarta. Saya yakin bisa menjaga Ayya tanpa bantuan mama saya. Memang bukan hal yang mudah, tapi saya harus memberanikan diri untuk mandiri mengurus anak. Saya hanya berdoa, semoga saya dikuatkan dan bisa menjadi Ibu yang baik untuk Ayya.

            Tentu saja tak mudah mengasuh anak sendiri di rumah, sementara suami sibuk bekerja. Saya harus jadi ibu pantang menyerah dan mengurangi mengeluh. Saya harus mampu menahan keluh kesah, walau sebenarnya capek luar biasa. Belum lagi harus begadang malam, ketika Ayya maunya digendong terus, tidak mau ditidurkan di tempat tidur.

Ayya di taman Bermain (Palmerah, Jakarta Barat)

            Kalau misalnya saya mengeluh pada mama saya melalui telepon, justru malah dibilang, “Ya begitu jadi ibu, makanya kalau sama orang tua itu nurut, sekarang baru kerasa kan gimana jadi orang tua?,” ujar mama saya.

            Ya begitulah saya harus kuat, kuat menyiapkan hidangan makanan bagi suami, kuat menjadi ibu, kuat belanja bahan makanan di pasar dan juga kuat membereskan rumah. Beruntung saya mempunyai suami yang mau membantu pekerjaan sehari-hari, misalnya menjemur pakaian,bergantian mencuci piring atau menyapu rumah. Alhamdulillah.

 

Hikmah Menjadi Ibu

            Saat ini, saya sudah menginjak usia 30 tahun. Tentu saja pemikiran saya sudah mulai dewasa. Saya sudah jarang mengeluh. Saya juga sudah bisa menerima status saya sebagai ‘Ibu Rumah Tangga’. Memang, keinginan saya untuk menjadi dosen tatap muka kembali seperti masih ada, tetapi qadarullah, setiap lamaran yang saya kirimkan belum juga bersambut. Saya berpikir positif saja, bisa jadi kondisi sebagai ibu rumah tangga saat ini adalah yang terbaik bagi saya.

    

Ayya dan Umi di Pantai Mutiara Buton Tengah (Sulawesi Tenggara)

            Ada Ayya yang membutuhkan perhatian saya, ada keluarga kecil saya yang membutuhkan saya full time di rumah. Toh, saya masih diberi kesempatan mengajar walau sebagai tutor online Universitas Terbuka. Saya bersyukur juga, karena saya bisa meluangkan banyak waktu untuk berkreasi membuat ragam masakan. Alhamdulillah saya juga merasa bahagia, karena Ayya tumbuh sehat dan ceria. Saya juga merasa bahagia karena saya bisa dan ternyata mampu mengurus rumah tangga walau masih harus banyak belajar.

            Saya berusaha mencontoh hal-hal baik yang diberikan oleh mama saya. Mama saya berpesan agar seringlah memasak di rumah untuk keluarga. Selain bisa menghemat biaya, tentu saja akan lebih sehat dan higienis. Kemudian ketika memasak, sebisanya harus cantik, mandi terlebih dahulu dan juga cantik, tak masalah menggunakan make up tipis dan tampil wangi untuk di rumah. Menyenangkan anak dan suami adalah prioritas. Jangan cepat tersinggung, berusahalah dewasa, berusaha menerima keadaan. Jangan lupa olahraga, karena ibu itu kalau bisa jangan sering sakit. Jaga kondisi pikiran agar tetap bahagia, karena bukannya apa, terkadang penyakit itu sumbernya dari pikiran. Saya berusaha mengikuti nasihat-nasihat dari mama saya,tentunya ini juga demi kebaikan saya.

            Menjadi Ibu adalah anugerah terindah dari Nya. Saya bersyukur, walau ‘masih’ di rumah saja, saya bisa menggali potensi saya yang lain, yakni memasak. Selain itu, sudah 2 tahun ini saya menjalankan bisnis online saya yang saya beri nama @yueayuustore (instagram), walau masih kecil-kecilan, tapi saya banyak belajar. Dimulai dari menjadi menjadi reseller, akhirnya saat ini saya sudah bisa menyetok barang. Prinsip saya, walau saya ‘di rumah saja’, tapi saya harus mengoptimalkan potensi saya, saya harus punya karya. Bismillah.

6 komentar on "Menjadi Ibu adalah Hikmah"
  1. Duuhh jadi pengen punya bayi nih,
    Terus dedeknya lucu banget lagi...

    BalasHapus
  2. Dek Ayya-nya cakep banget, duuhhh
    Semoga nanti menjadi anak yang sholehah ya dek.

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, semoga menjadi anak yg solehah... tetap semangat untuk para ibu, madrasah bagi anak

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah ya mbak. Pasti sulit banget rasanya berdamai dengan keadaan saat meninggalkan karir dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi syukurnya cepat di kasih momongan. Jadi lebih berwarna.

    BalasHapus
  5. Aku sudah merasakan dilema antara kerja dan ngurus anak mbak. Alhamdulillah ada jalan tengah, anak terurus kerjaan pun jalan.

    Semoga kita bisa menjadi mama sholihan buat anak2 ya

    BalasHapus
  6. Saat hamil Athifah saya malah memutuskan Resign juga. Laluanjut hamil Annasya. Asik2 aja. Eh malah setelah anak2 besar baru dapat kerjaan kantoran lagi, hehehe. Tetap semangat dan yakin bahwa tapi yakin kalo rejeki itu Allah akan berikan di saat yang tepat. Barusan dengar terjemahan salah satu ayat surat Al Isra yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan rejeki manusia secukupnya atau dibatasi. Artinya bukan tidak diberi. Mungkin dibatasi dengan sesuatu alasan kebaikan buat kita

    BalasHapus