Blogger Bengkulu (Bobe) bersama Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia pada hari Rabu, tanggal 26 September 2018 menggelar Talk Show dengan tema ‘Budayakan Sensor Mandiri’. Adapun narasumber
yang dihadirkan yakni, Ibu Mildaini, S.Pd., yang merupakan ketua Blogger Bengkulu (Bobe) serta Ibu Noor Saadah, M.Ikom., beliau merupakan
perwakilan dari Lembaga Sensor Film Indonesia yang saat ini menjabat sebagai
Anggota Komisi II, Bidang Hukum dan Advokasi. Acara ini dilangsungkan di The
Fellowship of Konakito sebuah cafe yang mengusung suasana outdoor yang berlokasi di pinggir Pantai Tapak Paderi Bengkulu
(berdekatan dengan Benteng Malborough, Bengkulu).
Tentunya acara ini menarik untuk saya
datangi, hal ini dikarenakan tema yang diusung merupakan salah satu tema yang
menarik dalam bidang komunikasi, mengingat saya merupakan alumni komunikasi
yang sudah lebih dari lima tahun mengkaji dan mempelajari mengenai beragam hal
yang berkaitan dengan komunikasi dan media massa. Selain itu, acara ini digelar
gratis bagi 100 pendaftar dan merupakan momen pertama bentuk kegiatan LSF
(Lembaga Sensor Film) Indonesia yang diadakan di Bengkulu.
Trend Gaya Nonton di Indonesia dan
Pentingnya Budaya Sensor Mandiri Khususnya bagi Para Blogger
Mbak Milda mengawali talk show dengan amat ramah, pembawaan
Mbak Milda yang cenderung santai namun tetap serius, mampu membuat para peserta
terbawa suasana. Apalagi ketika Mbk Milda menjelaskan mengenai trend menonton masa kini. Sebelumnya Mbak
Milda sempat mengajak peserta bercanda, “siapa di sini yang suka menonton film
Korea?,”. Sontak saja peserta Talk Show yang wanita langsung tertawa mendengar
hal ini.
Selanjutnya Mbak Milda menjelaskan mengenai kebiasaan
menonton masyarakat Indonesia, yang terbagi menjadi tiga berdasarkan survei Nielsen (Mobile constumer report
2014 yang dilakukan pada 429
responden yang berusia 16-40 tahun); yakni Ibu Rumah Tangga (yang
menonton 6 jam lebih dalam satu hari), para pria (yang menonton streaming sekitar 3 jam, jika berada di
rumah dapat menonton 1-2 jam sehari), serta para millenial dan pekerja (yang
lebih memilih untuk menonton streaming karena
dirasa lebih efektif dan efisien). Penjelasan dilanjutkan dengan menjelaskan
mengenai kisaran produksi film di Indonesia serta beberapa trend film yang ada
di Indonesia.
Adapun poin utama yang disampaikan yakni
berkaitan dengan betapa pentingnya memiliki budaya sensor mandiri, khususnya
bagi para blogger. Hal ini
dikarenakan para blogger merupakan
pengguna smartphone yang paling
sering berinteraksi dengan dunia maya, selalu update akan info film terbaru, seringkali menjadi buzzer dan promosi film, nobar (nonton
bareng), melakukan review film, serta senantiasa kritis pada film dan
tontonan. Selain itu, sebgaai bentuk kesimpulan dalam mengakhiri penjelasannya,
Mbak Milda menyatakan bahwa sensor efektif itu dilakukan dari rumah untuk diri
sendiri, keluarga dan masyarakat secara luas. Sebelum benar-benar mengakhiri
pembicaraannya, Mbak Milda juga memperkenalkan salah satu komunitas Film Lokal Bengkulu yakni Rafflesia Motion kepada para peserta.
Media Massa dan Generasi Millenial
Era media
konvergensi kemudian menghadirkan suatu istilah, yakni adanya generasi millenial
dalam kancah perkembangan masyarakat. Hal inilah yang kemudian dijabarkan oleh Ibu
Noor Saadah, M.Ikom., dari Lembaga
Sensor Film Indonesia saat acara Talk
Show LSF (Lembaga Sensor Film) bersama Blogger Bengkulu. Sebelum
menjelaskan mengenai apa, bagaimana dan karakter dari kehadiran generasi
millenial, Ibu Noor membuka penjelasannya tentang konsep media. Terdapat tiga
konsep media yang dirangkum oleh Ibu Noor, pertama, media merupakan hasil
konstruksi (Christ, 2004: 92-96 dalam Saadah, 2018). Dalam hal ini dapat
dimaknai bahwa hal apapun yang terdapat di dalam media massa merupakan hasil
konstruksi dari media tersebut terhadap lingkungannya. Contohnya, Ibu Noor
menjelaskan mengenai trend kulit putih dan rambut lurus pada wanita di
Indonesia, di mana wanita di Indonesia dianggap cantik apabila memiliki kulit
yang putih dan berambut lurus. Hal inilah yang dinyatakan sebagai konstruksi
media, di mana para konsumen wanita digiring opininya, bahwa cantik adalah
ketika memiliki kulit putih dan berambut lurus. Padahal sebenarnya memiliki
kulit sawo matang dan rambut keriting itu unik dan eksotis.
pict. dokumen pribadi. Ibu Noor Saadah dari LSF sedang menjelaskan materi Talk Show. |
Kedua, representasi media
mengonstruksi realitas. Dalam hal ini, sebagai konsumen media, individu
haruslah memiliki sikap ‘terbuka’, sehingga mampu memperluas pengetahuannya
untuk memahami peristiwa yang ditampilkan media. Maksudnya adalah media
merupakan representasi (perwakilan) dari dunia nyata yang telah dikonstruksi. Oleh
karenanya, kita sebagai konsumen media harus memiliki sikap cerdas dalam
menanggapi segala hal yang disiarkan oleh media massa. Cerdas bermedia inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah dengan literasi media. Ketiga, pesan media
berisi nilai dan ideologi. Dalam hal ini, Ibu Noor menyatakan bahwa karena
pesan media berisi nilai dan ideologi maka individu pengkonsumsi media harus
bersikap kritis terhadap apapun yang diterimanya melalui media.
Usai menjelaskan mengenai tiga
konsep media, Ibu Noor melanjutkan penjelasannya mengenia kehadiran generasi
millenial atau dikenal dnegan generasi Y. Generasi ini yang memiliki andil yang
cukup besar pada era saat ini. Orang-orang generasi Y ini merupakan orang-orang
yang produktif untuk masa sekarang. Generasi millenial ini dilahirkan pada
tahun 1980 hingga 1997, generasi inilah yang amat terpapar dengan era digital
atau konvergensi saat ini.
Setelah menjabarkan secara jelas
mengenai apa itu generasi millenial, Ibu Noor Saadah kemudian menjelaskan
tentang pentingnya sensor mandiri bagi masyarakat, khususnya pada generasi
millenial dalam mengkonsumsi media. Mengapa yang lebih diutamakan adalah para
generasi millenial? Hal ini tentunya beralasan, dikarenakan generasi millenial
merupakan generasi produktif masa kini yang senantiasa terpapar media,
khususnya media digital. Generasi inilah yang mampu berperan aktif untuk mengkampanyekan
mengenai sensor mandiri dalam penggunakan produk-produk media pada generasi
sebelum dan setelah mereka.
Sensor mandiri merupakan perilaku
secara sadar dalam memilah dan memilih tontonan. Mengapa sensor mandiri amat
penting? Hal ini dikarenakan kehadiran konvergensi media atau era digital saat
ini, menjadikan setiap konsumen media mampu mengontrol kapan, di mana dan
bagaimana mereka mengakses dan berhubungan dengan media itu sendiri. Masyarakat
secara bebas memilih akses informasi yang mereka inginkan, di mana pun dan
kapan pun. Terkhusus dalam mengakses informasi melalui tontonan, masyarakat
harus mampu secara jelas menyensor hal apa saja yang penting atau tidak
penting, sesuai atau tidak sesuai untuk mereka.
Budaya sensor mandiri tentunya harus
dimulai dari diri kita sendiri, karena sensor paling efektif berada pada diri
kita masing-masing. Penjabaran dua narasumber yang inspiratif mengenai budaya
sensor mandiri tentunya sangat bermanfaat bagi para peserta yang hadir saat
itu. Adanya kampanye tentang budaya sensor mandiri ini merupakan suatu bentuk
kampanye literasi media yang dapat mencerdaskan pengguna media massa.
Pict.Dokumen Pribadi. Berfoto Bersama Kedua Narasumber usai Acara Talkshow Bobe bersama LSF |
Tulisan ini diikutsertakan pada kegiatan #NulisSerempak yang diadakan oleh Blogger Bengkulu beserta Lembaga Sensor Film Indonesia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSensor mandiri memang penting ya mbak karena kalo cuma mengandalkan lembaga sensor film sekarang kurang efektif sebab banyak film yang bisa diputar secara streaming dan biasanya LSF tidak bisa menyensor.
BalasHapusSemoga menang lombanya mbak