Top Social

Perjalanan Ke Pulau K

Senin, 23 April 2018


                “Pulau K”, ayoo tebak, kira-kira pulau apa di Indonesia yang berbentuk pulau K? Nah.. Iya benar, bagi yang menjawab pulau Sulawesi, pasti nilai untuk mata pelajaran geografinya dulu saat sekolah, excellent, hehe...
            Oh iya, ini adalah perjalanan kali pertamaku ke Pulau K. Dulu, saat masih melajang, aku memang punya impian ingin punya calon suami yang bukan dari pulau Sumatera, atau pun dari Pulau Jawa. Mengapa? Ya, karena Bapak/Ibu ku sudah berasal dari dua pulau tersebut. Sehingga, untuk menambah kebhinekaan keluarga kami, maka, kalau bisa, aku menginginkan orang dari selain dua pulau tersebut untuk kemudian menjadi jodohku. And then.... qadarullah ya... benar-benar terkabullah doaku itu. Akhir tahun 2017, aku benar-benar dilamar oleh salah satu orang yang berasal dari pulau K, asli pulau K malah... Doi berasal dari Kabupaten Raha (Muna Barat), Kendari (Sulawesi Tenggara). Nah, poin pentingnya nih ya, jangan pernah pesimis akan doa, karena sesungguhnya, doa-doamu itu didengarkan oleh Allah. Dan berhati-hati jugalah ketika berujar, karena bisa jadi kenyataan loh..
            Okey, balik lagi ke pulau K ya. Btw, karena tanggal 30 Maret 2018 kemarin adalah almanak merah, maka aku bersama suami bersepakat untuk mengunjungi keluarga kami yang ada di Muna. Kebetulan, selama menikah (3 bulan), aku belum pernah bersilaturahmi ke kediaman suami di kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Walaupun almanak merahnya berada pada hari Jum’at, namun, kami bersepakat untuk memulai perjalanan kami di hari Kamis, yakni tanggal 29 Maret 2018. Dengan menggunakan pesawat Sriwijaya Air, kami pun berangkat dari Soetta (Tangerang) menuju ke Kendari dengan jalur transit Makassar.
            Perjalanan kami mulai dari Jakarta Barat (Palmerah), dengan mengendarai go car, kami menuju bandara Soetta sekitar pukul 07.15 WIB. Perjalanan cukup lancar, kami tidak mengalami kemacetan. Berbeda dengan jalur sebaliknya, aku melihat jalanan padat merayap, ya beginilah Jakarta, ‘berani hijrah ke Jakarta, artinya berani terima tantangan bermacet ria!’.

            Setibanya di Soetta, kami langsung check in dan kemudian menunggu keberangkatan, tepat pukul 09.50 WIB, kami telah berada di atas pesawat menuju Makassar. Perjalanan akan ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam lamanya. Jujur saja, ini adalah perjalanan dengan durasi terlama di atas pesawat. Biasanya, aku hanya berada di atas pesawat selama 1 jam saja.
            Tepat pukul 14.00 WITA, kami tiba di bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Maros, Makassar. Bandaranya cukup megah dengan desain interior yang mewah. Untuk ukuran bandara intenasional yang ada di Yogya dan Solo, bandara ini terbilang lebih maju, bahkan sangat maju dengan beragam fasilitas-fasilitas yang mewah.
Salah satu fasilitas di bandara Sultan Hasanuddin Makassar
Pict. By Me

Ruang Tunggu, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar
Pict. By Me



Salah satu sudut di Ruang Tunggu Sultan Hasanuddin, Makassar.
Pict. By Me
           
 Waktu transit kami sangatlah singkat, hanya sekitar 20 menit, karena kami harus melanjutkan kembali perjalanan ke Kendari. Dalam waktu 20 menit tersebut, aku menyempatkan membeli siomay di dalam bandara. Karena memang sudah lama ngidam siomay dan belum juga kesampaian. Begitu lihat banner makanan ada yang menjual siomay, akhirnya aku pun membeli siomay tersebut dengan IDR Rp 33.000/porsi. Harga yang cukup mahal memang untuk ukuran satu porsi siomay.

Menyempatkan diri membeli siomay di dalam bandara.
pict. by Me

            Sementara menunggu jadwal penerbangan selanjutnya, aku pun mencoba siomay yang tadi telah dibeli. Untuk rasa tidak begitu enak, tetapi lumayanlah untuk Ibu-Ibu ngidam seperti saya. Harum siomaynya memang wangi sekali, menggugah selera makan, tetapi untuk rasa, masih lebih enak siomay Mandiri yang ada di Bengkulu... :D
            Baru menikmati dua suapan pertama, aku terpaksa mengakhiri waktu makan siomay untuk sementara karena pesawat yang akan kami tumpangi sudah siap untuk dinaiki penumpang selanjutnya. Rasa-rasanya sih masih ingin melanjutkan makan, tapi apa daya, masa mau makan sambil berjalan ke atas pesawat. He...
            Tiba di atas pesawat pun, aku tidak bisa melanjutkan makan, hal ini dikarenakan aku takut mengganggu penumpang lain, dikarenakan aroma bumbu kuah siomay yang semerbak harum. So, ibu-ibu ngidam pun menahan selera untuk sementara waktu.
            Perjalanan cukup lancar, selang waktu kurang lebih satu jam, kami pun tiba di bandara Halu Uleo Kota Kendari. Bandaranya tidak terlalu besar, hampir mirip dengan bandara Fatmawati Soekarno yang ada di Bengkulu. Hanya saja, jika di bandara Fatmawati halamannya tidak terlalu luas, namun di bandara Halu Uleo halamannya cukup luas.

Bandara Halu Uleo Kendari
Pict. by Me


            Tiba di bandara, sementara suamiku mengantri barang bagasi, aku pun pergi ke luar bandara, untuk duduk di bangku bandara yang telah disediakan. Ada hal yang membuatku kurang nyaman, hal ini dikarenakan sejak pintu keluar ruang bandara, aku sudah diburu oleh orang-orang yang menawarkan jasa travel dan taxi. Mereka menawarkan “Rp100.000,- Mbk, Rp 100.000,-“, bahkan ada yang mengikutiku hingga tempat duduk. Menawarkan mau membawa baranglah, pokoknya membuat tidak nyaman. Sampai aku menyatakan bahwa aku sedang menunggu suami, baru orang tersebut pergi meninggalkanku.
            Hummm.... usai orang tersebut pergi, akhirnya aku pun melanjutkan misi yang tadi sempat tertunda, yakni makan siomay, :D :D . Siomay pun habis, Ibu-Ibu ngidam pun kenyang, Alhamdulillah. Suami pun tiba tepat pada waktunya, hhe... Dan kami pun memutuskan untuk menyewa salah satu travel yang akan membawa  kami menuju kota Kendari. Fyi nih ya, jarak antara bandara dan Kota Kendari cukup jauh, hampir memakan waktu lebih dari setengah jam.
            Tepat pukul 16.30 WITA, kami tiba di depan salah satu hotel, yakni hotel Putri Wisata. Hotel tersebut tidak jauh dari mall Lippo Kendari. Di depan hotel tersebut, telah menunggu teman suami, bang Nato namanya. Beliau memang orang asli Kendari dan tinggal di Kendari. Beliau adalah sahabat dekat suami sejak kuliah S1 dulu di Universitas Halu Uleo Kendari.
            Karena kami berdua sudah kelelahan, kami memutuskan untuk menginap dihotel Putri Wisata saja, fasilitasnya memang cukup lengkap, tetapi kamarnya kurang nyaman, karena seperti bangunan lamayang agak kurang terawat. Kami menginap di kamar VIP dua dengan IDR Rp 350,000,00/malam. Fasilitas yang didapatkan cukup baik, yakni TV, AC, WIFI, dan sarapan pagi.
            Usai berkemas, kami langsung diajak berkeliling di Kota Kendari. Kami mengawali perjalanan kami dengan mengunjungi kawasan kuliner, yakni mencicipi kuliner ikan bakar khas Kendari di Rumah Makan Kampung Bakau Kendari. Saat itu, aku dan suami memesan ikan bakar baronang. Harga ikan dihargai Rp 12.000,-/ons. Selain mencicipi ikan bakar, kami juga disuguhi sinonggi (makanan khas Kendari). 

Aneka Sambal. Salah satu menu RM.Kampung Bakau Kendari.
Pic.by Me


Sinonggi ini dilengkapi dengan paket palumara (semacam sayur bening dan ikan pindang kuah kuning yang akan menjadi campuran saat memakan sinonggi). Sinonggi sendiri semacam makanan yang terbuat dari bahan baku sagu yang kemudian disiram air panas dan diaduk-aduk hingga menyerupai lem, hampir serupa dengan Papeda di Papua. Cara memakannya pun unik. Aku diajarkan Bang Nato cara memakannya, caranya adalah mengaduk-aduk sinonggi dengan sumpit kayu, setelah cukup kental, kemudian dituangkan ke piring yang telah diberikan cabe rawit yang dihaluskan menggunakan sendok (jumlah rawit sesuai selera, saran saya jangan terlalu banyak rawitnya, karena rawit Kendari pedas banget), kemudian tuangkan ikan dan kuah pindangnya, sayur bening serta perasan jeruk nipis. Sinonggi yang dimasukkan ke piring tersebut, kemudian dipotong-potong dengan menggunakan sumpit kayu (jadinya terlihat seperti tekwan, hehe). Memakan sinonggi memang segar sekali, apalagi udara menjelang maghrib di pantai Teluk Kendari cukup dingin. Ditambah cita rasa pedas dari rawit, menambah selera makan tentunya. Menurut Bang Nato, seharusnya menelan sinonggi tidak perlu dikunyah, langsung ditelan saja, namun tentunya tidak untukku, yang baru pertama kali mencicipinya. :D

Satu Paket Sinonggi
Pict. By Me

Cara Memakan Sinonggi
pict By Me

Sinonggi yang telah siap disantap.
Pict By Me.

Ikan bakar baronang
pict By Me

Usai menikmati suasana senja di Kampung Bakau Kendari, kami pun kembali berkeliling Kota Kendari, kami diajak berkunjung ke Masjid Al Alam Kendari yang berada di tengah laut. Masjid tersebut sudah diresmikan, namun belum dapat digunakan karena masih ada yang perlu dibenahi, namun suasananya sangat menarik, karena berada di tengah-tengah laut. 

Suasana Pantai Teluk Kendari

Bersama suami di RM. Kampung Bakau yang berada di atas Pantai Teluk Kendari
Taken by : Bang Nato

Masjid Al Alam Kendari.
Pict By Me
Seusai dari masjid, kami mencicipi kuliner kembali, kali ini kami mencicipi kuliner khas Makassar tepatnya, yang tentunya juga banyak dijual di Kota Kendari, yakni pisang Epe dan Saraba. Pisang Epe adalah pisang kepok beukuran sedang, yang kemudian dijepit (dipadatkan/dipipihkan), kemudian dibakar. Setelah matang kemudian diberi toping gula merah kental dan toping lainnya sesuai selera. Untuk kali ini aku memilih toping keju. Sementara saraba adalah minuman campuran jahe dan gula merah yang dimasak dan dihidangkan hangat-hangat. Sungguh perpaduan yang nikmat, untuk kondisi malam di Kendari yang cukup dingin. Usai menyelesaikan santapan pisang epe dan saraba, kami pun kembali ke hotel dan beristirahat.

pisang epe dan Saraba
pict by me

----------------------------------------
Jumat, 30 Maret 2018, pagi hari waktu Kendari.
Sebenarnya kondisiku masih lelah, namun kami harus segera melanjutkan perjalanan ke Muna (salah satu daerah Kabupaten yang ada di Kendari) dengan menggunakan kapal cepat. Jujur saja, aku masih ingin istirahat di hotel. Namun, Abang menyarankan agar kami pergi dengan menggunakan kapal cepat pada jadwal pagi hari, karena kalau siang, ombak laut akan kencang. Dengan agak sedikit enggan, akhirnya aku pun ikut saran Abang dan bertolak meninggalkan hotel menggunakan grabcar menuju pelabuhan. Saat itu, kami diantar oleh keponakan Abang bernama Ica yang kebetulah masih menempuh kuliah di Universitas Halu Uleo Kendari jurusan Hubungan Internasional.
Selfie bersama Ica sebelum naik kapal Cepat menuju Muna

Setelah memesan tiket, sekitar pukul 08.00 WIB kami bertolak menuju Muna. Perjalanan ditempuh dalam waktu 4 jam. Kapal ini cukup nyaman, Abang sengaja memesan tiket VIP agar aku nyaman selama berada di atas kapal. Untuk fasilitas VIP, dilengkapi dengan AC, sofa duduk yang tidak berdesakan dan televisi. Harga tiket vip/orang adalah Rp 250.000,-. Selama perjanan kami dihibur dengan lagu-lagu nostalgia dari DVD TV kapal, seusai itu, kami dihibur dengan film India laga. Aku tidak terlalu menikmati perjalanan laut tersebut, hal itu dikarenakan, selama perjalanan perutku sakit dan aku  terserang diare. Sepertinya aku terlalu banyak makan rawit saat menikmati sinonggi.
Namun, semua itu bisa kuatasi, karena tepat sekitar pukul sebelas lewat, kami tiba di dermaga Muna. Kami disambut dengan keluarga Abang saat turun dari kapal dan segera bertolak ke Kota Laworo yang berjarak setengah jam dari dermaga dengan perjalanan darat.
Tiba di rumah Kakak Abang, kami disambut oleh keluarga Abang, ada suasana haru, di mana Bapak mertuaku menangis menyambut kami. Umur beliau sudah menginjak 90 tahun, namun masih sanggup berjalan sendiri.
Usai beristirahat, kami pun makan bersama. Saat itu, aku disuguhi lapa-lapa (Semacam lontong yang dibungkus daun kelapa dan dicampur santan) dan bening daun kelor. Sayur beningnya benar-benar bening loh... tanpa bawang, tomat, lengkuas. Hanya air bening dan garam. Oh.. ya Allah.. benar-benar bukan seleraku, tetapi sepertinya lebih sehat seperti ini yah. Selain itu juga ada goreng ikan pindang, sambal tahu dan tempe goreng. Selain itu, untuk santap malam, kami disuguhi ayam kampung masak kowe. Kowe adalah gulai khas masyarakat Muna, di mana menggunakan kelapa goreng yang ditumbuk sangat halus, kemudian dicapur bawang merah, bawang putih dan garam serta daun kedondong. Untuk cita rasanya enak, segar, karena daun kedondong memberikan cita rasa segar pada masakan. Dan tentunya cita rasa ayam kampung yang gurih membuat selera makan kian menambah. Ayam kampung masak kowe ini dimakan dengan menggunakan lapa-lapa (semacam lontong). Ahhh, nikmatnya.
Ayam Kampung Masak Kowe
pict By Me

Lapa-Lapa Khas Muna
Pict By Me


Keesokan paginya aku diajak Abang pergi ke tempat pemandian dekat rumah. Namanya tempat pemandian matakidi. Dalam bahasa Muna, kidi berarti kecil, artinya adalah tempat pemandian mata air kecil. Abang bercerita teman pemandian ini sudah ada sejak ia kecil. Di sinilah dahulu ia belajar berenang pertama kalinya. Airnya memang sangat jernih, namun udara pagi itu cukup dingin, sehingga aku mengurungkan niat untuk ikut mandi juga di sana.

Pemandian Mata Kidi, Muna
Pict By Me



Siang harinya, aku disuguhi rambutan segar yang dipetik langsung dari pohon. Sungguh manis rasanya. Wah..benar-benar kunjungan yang menyenangkan. Rasa-rasanya hilang semua lelah di perjalanan. Selain mengunjungi keluarga Abang dan bertemu Bapak Ibu Mertua, tentunya aku juga bisa berbagi pengalaman dan cerita dengan keluarga baruku di Kendari dan Muna.
Keesokan harinya, kami bertolak kembali ke Jakarta dengan menaiki pesawat dari bandara Muna menggunakan pesawat Garuda yang berkapasitas penumpang 60 orang. Ini adalah pengalaman pertamaku naik pesawat berukuran kecil. Cukup menguji nyali tentunya, apalagi saat mau landing, wah rasa-rasanya adrenalin benar-benar diuji. Tetapi alhamdulillah, setelah transit sementara di Makassar, tepat pukul 15.30 WIB kami tiba kembali di Jakarta. Welcome again Jakarta, Welcome again my real life!. Salam rindu Kendari. Sampai jumpa kembali.  



22 komentar on "Perjalanan Ke Pulau K"
  1. DAri dulu kepengn ke Pulau K tapi belum kesampaian, secara jauhnya itu dari Bengkulu

    Eh BTW awalnya aku mikir Yue benar-benar ke pulau yang namanya pulau K ahha

    BalasHapus
  2. Aku udah pernah ke kendari, pas nyampe kan malam ya, liat kondisi jalan dan lampu2nya yang agak remang jadi terpikir "ini udah sampai Kendari atau balik ke Bengkulu lagi ya," hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kalo malam emg rada gelap kurang lampu jalan kotanya... tp menariik... hehe

      Hapus
  3. Cieeeeee,,, ehem...ehem... yang la berdua. sudah punya tempat untuk mudik. hihi

    BalasHapus
  4. wahh,, ikan bakar dan sinonggi nya ini yang buat ngiler.. hohohoho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoho... iya nih.. sinongginya segar sekaalii... :)

      Hapus
  5. Mbak... why oh why makanannya bikin ngiler sekaliii? huhu. Pengen ih. Tapi jauh xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. maapkan atuh.. silahkan diicip kalo ke Kendari ya... :)

      Hapus
  6. Asyiknyaaaa... Kulineran ya bikin ngiler😃😃😃

    BalasHapus
  7. Pengin nyobain sinonggi, makanannya unik dan khas sekali soalnya.

    BalasHapus
  8. Mau ujian baca beginian bikin aku lapeeer

    BalasHapus
  9. Pengin banget ke Indonesia timur. Halan-halan dak liat foto makanannya kok enakkkk

    BalasHapus
  10. Itu makan snoggi , seru kali ya. Kenyang apa ga , hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenyang tp cepat lapar lg Mbk... krn perut biasa nasi.. hee

      Hapus
  11. Wahh yue seru bgt ceritanya, dari jalan jalan sampe kulineran apalagi bareng suami pasti asyik bgt

    BalasHapus
  12. Buk Yuer jadi kangen minum serabak,,,,masih inget to kita nyasar degerin diskusi di asrama anak makasar...behh rasanya pertama minum...enak bgt,,,,moga bisa maen ke pulau K :D

    BalasHapus